Laman

صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Budi Pekerti Yang Paling Tinggi Adalah Rasa Malu Terhadap Diri Sendiri

APA YANG SALAH, DENGAN "KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN & SUNNAH"?



Kaum Salafi & Wahabi memiliki motto "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah". Mereka juga mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur'an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw., sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya?

Sampai di sini mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya? Mengapa pula paham Salafi & Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur'an dan Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat??! Rasanya, hanya orang gila yang berani menyatakan begitu.

Tetapi, mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat "sumber masalah" yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut.

1. Prinsip "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur'an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur'an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang 'alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku "terjemah" al-Qur'an atau Sunnah. Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah, dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah", mereka merasa benar dengan caranya sendiri. Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur'an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid'ah.

2. Al-Qur'an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa' (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama'ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur'an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur'an sebagai "ahludz-dzikr", yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" secara langsung, tetapi juga "kembali kepada pendapat para ulama salaf" secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.

3. Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur'an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah "hasil jadi". Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur'an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara' (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan "makanan siap saji" yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran "pendapat" manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari'at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.

Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah "mencemarkan agama", lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi & Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur'an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan "pemurnian agama".

Sesungguhnya, "pencemaran" yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan, sedangkan "pemurnian" yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur'an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap al-Qur'an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur'an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid'ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur'an dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.

Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang "kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur'an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur'an dan Sunnah.

Supaya Tidak Sembarang Berbicara Masalah Hukum Agama; Anda Tidak Akan Mencapai Derajat Mujtahid Maka Anda Harus Menjadi Muqallid


Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas. Maka seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian untuk itu, ia seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para ulama) para ulama sebelumnya.

Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan baiknya.

Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut di atas.

Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi:

" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ حامل مبلغ لا فقه عنده " (رواه الترمذي وابن حبان)

Maknanya: “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Bukti terdapat pada lafazh: فربّ مبلغ لا فقه عنده ""
“Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”.
Dalam riwayat lain: "وربّ مبلغ أوعى من سامع"
“Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.

Bagian dari redaksi hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa ada di antara yang mendengar hadits dari Rasulullah memiliki kapasitas hanya meriwayatkan saja, sementara pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut mungkin kurang, bisa jadi pemahaman orang yang mendengar/mengambil hadits tersebut darinya lebih luas dan lebih komprehensif. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa bisa saja ada sebagian sahabat Nabi di mana sebagian murid mereka mungkin lebih paham terhadap kandungan hadits-hadits Nabi lebih dari pada mereka sendiri.
Pada redaksi hadits lain tentang ini:

" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "

“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya”. (Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Orang yang memiliki kapasitas inilah yang disebut mujtahid yang dimaksud oleh hadits Nabi:

" إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر " (رواه البخاري)

“Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (H.R. al Bukhari)

Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.

Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al-walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun”.

Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal).

Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya !”. Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.

Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”. Di samping itu mereka juga menyalahi para ulama ahli hadits.

MANA DALIL???


Untuk para wahabi yg masih aja bingung tentang maulid.... silakan baca dulu dan jika masih ada yg tdk berkenan silakan tanya kepada ulama...

Seperti anda tahu perayaan maulid itu sebuah kegiatan yg isinya tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir dan tauziyah, nah anda pasti sangat faham dalil2 tentang tholabul ilmi, shodaqoh, dzikir dan tauziyah, sudah byk bertebaran diseantero FB, silakan cari sendiri

Nah yg mnjadi masalah disini adalah bagaimanakah Dalil dari “PERAYAAN MAULID” benar tidak?
sampai-sampai anda menanyakan “MANA DALILNYA?”

Saya mungkin akan jelaskan sedikit, saya mulai dari suatu kaidah dalam ushul fiqh yg sering didengung-dengunkan oleh para Salafi,

“Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”..

Nah dari kaidah ini sesuatu yang diangap ibadah selalu muncul pertanyaan
“mana dalilnya?” karena sifat dari ibadah yg tauqif.

Permasalahnya adalah untuk ibadah apakah kaidah diatas ?
Saya akan coba mengambil dari kitab,

الأصل في العبادات التوقيف

وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعاً وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، " أن الأصل في العبادات التوقيف " كما "أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة"، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جداً ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادةً لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحدٍ أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصاً أو تقديماً أو تأخيراً أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ول�5; يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعاً، والعصر أربعاً، والمغرب ثلاثاً، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدّقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلاً أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقداً جديداً لم يكن موجوداً في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه رباً ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذٍ نقول: هذا العقد مباح؛

bahwa yang dinamakan ibadah sifatnya tauqif adalah sudah ditetapkan dan tidak boleh ditambah2 atau dikurangi atau mendahulukan atau melebihkan atau apapun itu….
Dan ini beda dengan muamalah yang asalnya boleh sampai ada dalil yg melarangnya…
Nah sekarang kita lihat apakah sebenarnya ibadah tauqif itu….

التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلاً أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع

tauqifi dalam sifat ibadah
ibadah itu tauqifi dalam semua hal. dalam sifatnya,,,
maka tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku', atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya...oleh karena itu, yang namanya ibadah itu tauqifi dinuqil dari syari' ( Allah )

التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضاً- فلا يجوز لأحد أن يخترع زماناً للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلاً

tauqifi dalam waktu pelaksanaan ibadah
waktu pelaksanaan ibadah juga tauqifi. maka tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari' tidak memerintahkannya.

التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعاً، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلاً، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلاً، فهذه بدعة!

tauqifi dalam macamnya ibadah
begitu juga ibadah juga harus disyaratkan sesuai dg syari'at..artinya termasuk dari jenis ibadah yang disyariatkan. maka tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak disyariatkan, seperti menyembah matahari. atau memendam jasadnya sebagian sembari berkata : saya ingin melatih badanku, misalkan. ini semua bid'ah.

التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعاً، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلاً- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجاً أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدّى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك.

begitu juga tauqifi dalam tempat ibadah.
maka ini juga harus masyru'. maka tidak boleh beribadah tidak pada tempat yang sudah disyari'atkan. seperti jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji. atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di 'arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru'. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari'atkan oleh syari'

Nah dari penjelasan kitab diatas dpt ditangkap 4 point, dan bila diperhatikan maka disitu didapat kesimpulan bahwa ibadah yg sifatnya tauqif itu adalah ibadah mahdoh… faham??
Jadi yang dimaksd ibadah dalam kaidah “Asal semua ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang menghalalkannya atau menyuruhnya”..
adalah ibadah yg sifatnya mahdoh saja, bukan semua ibadah

Nah untuk bisa membedakannya ibadah harus dilihat wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan)
Untuk ibadah yg sifatny mahdoh Cuma ada maqoshid, sedangkan utk ghoer mahdoh ada maqoshid ada wasail

Ok… langsung contoh saja….biar gampang, perhatikan baik2 maz….

Sholat, sudah jelas karena ibadah yang dzatny adalah ibadah, maka yang ada cuma maqoshid (tujuan) tidak ada wasail

Anda menulis di FB, Kegiatan menulis sendiri itu bukan ibadah maka hukumnya mubah
Tapi karena anda mengharapkn ridho Allah dalam rangka dakwah dengan jalan menulis di FB maka dalam Islam ini berpahala dan termasuk ibadah
(wasailnya anda menulis di FB, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah)
Tapi jika anda menganggap kegiatan menulis ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdoh sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah

Saya kasih contoh lagi, kegiatan pengajian dan tabligh, awalnya bentuk kedua kegiatan ini bukan ibadah dan tidak ada contoh dari rasul jadi hukumnya mubah, tapi karena isi dari kegiatan ini adalah ibadah macam (tholabul ilmi dan tauziyah atau bahkan dakwah) maka kegiatan pengajian dan tabligh insyaallah berpahala dan bernilai ibadah
(wasailnya kegiatan pengajian dan tabligh, maqoshidnya mengharapkan ridho Allah dalam rangka holabul ilmi dan berdakwah)
Sekali lagi jika anda menganggap kegiatan pengajian dan tabligh ini sebuah ibadah yang dzatnya adalah ibadah seperti ibadah mahdoh sudah pasti ini namanya bid’ah dholalah

Begitu juga dengan maulid, maulid adalah wasail (perantara atau ada yang bilang sarana), maqoshidnya adalah mengenal Rasul dan mengagungknnya…
Bagaimanakah hukum awal dari Maulid? Jawabannya adalah mubah boleh dilakukan boleh tidak
Tapi kenapa menjadi sunah?? Menjadi sunah dikarenakan hukum maqoshidny adalah sunah (mengenal dan mengagungkn Rasul adalah Sunah)
karena yang namanya hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid (Lil Wasail hukmul Maoshid) - ini adalah kaidah ushul fiqh
Contoh gampangnya untuk (Lil Wasail hukmul Maoshid),
anda membeli air hukumnya mubah, mau beli atau enggak, gak ada masalah
Tapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Kembali lagi ke maulid
Apakah maulid bisa menjadi sesuatu yg bid’ah (dholalah)?ya bisa jika anda menganggap maulid adalah sebuah ibadah yg dzatnya adalah ibadah seperti sholat wajib.

Nah perlu saya garis bawahi pertanyaan-pertanyaan seperti,
apakah dasar merayakan maulid?
^
^
INI ADALAH PERTANYAAN YANG SALAH.
tidak ada ceritanya namanya wasail ada dalil qothinya,

contoh lagi biar lebih gampang mencerna :
anda berangkat ke sekolah, ini adalah wasail, maqoshidnya tholabul ilmi, tapi karena tholabul ilmi itu hukumny wajib maka berangkat ke sekolahpun menjadi wajib dan bernilai ibadah.
Dalil yang ada adalah dalil tentang tholabul ilmi.
Bagaimanakah dalil yang menyuruh kita berangkat kesekolah? JELAS TIDAK ADA!!karena ini adalah wasail atau sarana
Begitupula dengan maulid, kalau anda tanya dalil maqoshidnya yaitu tentang mengenal dan mengagungkan Rasul ya pasti ada
Tapi jika anda tanya dalil wasailnya, yaitu perayaan Maulid? JELAS TIDAK ADA!!karena ini adalah wasail atau sarana.
Sedikit tambahan, ini juga dasar kenapa bermadzab itu wajib hukumnya bagi kita,
karena madzab adalah wasail, dan ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk mengerti agama ini, kita gak mungkin bertanya langsung ke rasul
sedangkan maqoshidnya agar kita bisa mengerti tentang agama islam sehingga kita bisa mengamalkannya dengan benar(hukumnya ini wajib).
maka bermadzab menjadi wajib
kalau anda tanya mana dalil naqlinya secara leterleg yang menyuruh kita bermadzab?
yaa gak ada, lha wong bermadzab itu cuma wasail
saya harap setelah ini anda2 bisa belajar dan lebih mengerti sehingga tidak serampangan dalam bertanya..

Jangan sedikit-sedikit bertanya “MANA DALILNYA?” , tanpa tahu sesuatu hal itu perlu dalil atau tidak

bagaimana pertanyaan bisa dijawab, kalau pertanyaannya saja salah????