Laman

صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Budi Pekerti Yang Paling Tinggi Adalah Rasa Malu Terhadap Diri Sendiri

MARI LUANGKAN AKAL UNTUK SEDIKIT BERFIKIR


Pernyataan qaul masyhur bahwa
pahala bacaan al-Qur’an tidak
sampai kepada orang mati adalah
tidak mutlak, itu karena ada qaul lain
dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang
menyatakan sebaliknya. Disinilah kita
perlu memahami sebuah kalimat
ungkapan karakter bahasa,
sebenarnya jika kita mau sedikit
meluangkan Akal untuk sedikit
berpikir, maka Ungkapan seperti itu
tidak akan membuat kita heran,
kenapa? karena memang sudah
semestinya jika bacaan apapun tidak
akan sampai pada Mayat!! bahkan
tidak hanya bacaan saja, semua
amalan kita tidak akan sampai ke
orang lain, atau mayat. Namun
Pemikiran Salafi/Wahhabi tidak
terbuka untuk ini rupanya.
Demikian juga Perkataan jelek atau
amalan jelek kita juga tidak akan
sampai atau di bebankan kepada
Orang lain atau Mayat, jika memang
amalan jelek kita itu tidak ada
sangkut pautnya dg Orang lain
tersebut atau Mayat itu sendiri. Jadi
Amalan kita itu sampai atau tidaknya
berhubungan dengan kondisi dan
hal-hal tertentu, seperti perkataan
beliau Imam Syafi’i :

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ : ﻭﺃﺣﺐ ﻟﻮ ﻗﺮﺉ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺒﺮ
ﻭﺩﻋﻰ ﻟﻠﻤﻴﺖ

“asy-Syafi’i berkata : aku menyukai
sendainya dibacakan al-Qur’an
disamping qubur dan dibacakan do’a
untuk mayyit” [1]

Demikianlah kita harus memahami
Perkataan seorang Pembesar Agama
Islam sekaliber Imam Syafi,i melalui
para Ulama yang lain, entahlah jika
Mereka Mendaulat Dirinya Setara
Dengan Imam Syafi,i?Juga disebutkan
oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-
Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan yang
lainnya dalam kitab masing-masing
yang redaksinya sebagai berikut :

ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﺭَﺣِﻤﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪ : ﻭﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ ﺃﻥْ
ﻳُﻘﺮَﺃَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷﻲﺀٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻘُﺮﺁﻥِ، ﻭَﺇﻥ ﺧَﺘَﻤُﻮﺍ
ﺍﻟﻘُﺮﺁﻥ ﻋِﻨْﺪﻩُ ﻛﺎﻥَ ﺣَﺴﻨﺎً

“Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata : disunnahkan agar membaca
sesuatu dari al-Qur’an disisi
quburnya, dan apabila mereka
mengkhatamkan al-Qur’a disisi
quburnya maka itu bagus” [2]

Kemudian hal ini dijelaskan oleh
‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-
Anshari dalam dalam Fathul Wahab :

ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﻣﺴﻠﻢ
ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻣﻦ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﻞ
ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ
ﻳﺼﻞ ﻭﺫﻫﺐ ﺟﻤﺎﻋﺎﺕ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺇﻟﻰ ﺃﻧﻪ
ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺛﻮﺍﺏ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ
ﻭﺻﻮﻡ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻭﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﻣﻦ ﻣﺸﻬﻮﺭ
ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺮﺃ ﻻ ﺑﺤﻀﺮﺓ
ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻧﻮﺍﻩ
ﻭﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﺑﻞ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﺩﻝ ﻋﻠﻴﻪ
ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺑﺎﻻﺳﺘﻨﺒﺎﻁ ﺃﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺇﺫﺍ
ﻗﺼﺪ ﺑﻪ ﻧﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻧﻔﻌﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺫﻟﻚ
ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮﺗﻪ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺮﻭﺽ

“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam
an-Nawawi mengatakan didalam
Syarh Muslim, yakni masyhur dari
madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala
bacaan al-Qur’an tidak sampai
kepada mayyit, sedangkan sebagian
ashhab kami menyatakan sampai, dan
kelompok-kelompok ‘ulama
berpendapat bahwa sampainya
pahala seluruh ibadah kepada mayyit
seperti shalat, puasa, pembacaan al-
Qur’an dan yang lainnya. Dan apa
yang dikatakan sebagai qaul masyhur
dibawa atas pengertian apabila
pembacaannya tidak di hadapan
mayyit, tidak meniatkan pahala
bacaannya untuknya atau
meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya bahkan Imam as-
Subkiy berkata ; “yang menunjukkan
atas hal itu (sampainya pahala)
adalah hadits berdasarkan istinbath
bahwa sebagian al-Qur’an apabila
diqashadkan (ditujukan) dengan
bacaannya akan bermanfaat bagi
mayyit dan diantara yang demikian,
sungguh telah di tuturkannya didalam
syarah ar-Raudlah”. [3]

Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-
Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah
al-Kubraa:

ﻭﻛﻼﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻫﺬﺍ
ﺗﺄﻳﻴﺪ ﻟﻠﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻓﻲ ﺣﻤﻠﻬﻢ ﻣﺸﻬﻮﺭ
ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺑﺤﻀﺮﺓ ﺍﻟﻤﻴﺖ
ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻋﻘﺒﻪ

“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini
(bacaan al-Qur’an disamping mayyit/
kuburan) memperkuat pernyataan
ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam
membawa pendapat masyhur diatas
pengertian apabila tidak dihadapan
mayyit atau apabila tidak
mengiringinya dengan do’a”. [4]

Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :

ﻗﺎﻝ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﻣﺴﻠﻢ: ﺇﻧﻪ
ﻣﺸﻬﻮﺭ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺮﺃ ﻻ ﺑﺤﻀﺮﺓ
ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﻟﻪ
ﺃﻭ ﻧﻮﺍﻩ ﻭﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻟﻪ

“Sesungguhnya pendapat masyhur
adalah diatas pengertian apabila
pembacaan bukan dihadapan mayyit
(hadlirnya mayyit), pembacanya tidak
meniatkan pahala bacaannya untuk
mayyit atau meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya untuk mayyit”.[5]

Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-
Jumal didalam Futuuhat al-Wahab
(Hasyiyatul Jumal) mengatakan pula
sebagai berikut :

ﻭﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺗﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ
ﺑﺸﺮﻁ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻣﻮﺭ ﺇﻣﺎ ﺣﻀﻮﺭﻩ ﻋﻨﺪﻩ
ﺃﻭ ﻗﺼﺪﻩ ﻟﻪ، ﻭﻟﻮ ﻣﻊ ﺑﻌﺪ ﺃﻭ ﺩﻋﺎﺅﻩ ﻟﻪ، ﻭﻟﻮ
ﻣﻊ ﺑﻌﺪ ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻩ

“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an
memberikan manfaat bagi mayyit
dengan memenuhi salah satu syarat
dari 3 syarat yakni apabila dibacakan
dihadapan (disisi) orang mati, atau
apabila di qashadkan (diniatkan/
ditujukan) untuk orang mati walaupun
jaraknya jauh, atau mendo’akan
(bacaaannya) untuk orang mati
walaupun jaraknya jauh juga.
Intahaa”.[6]

ﻓﺮﻉ : ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻟﻠﻘﺎﺭﺉ ﻭﻳﺤﺼﻞ ﻣﺜﻠﻪ
ﺃﻳﻀﺎ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﻟﻜﻦ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺑﺤﻀﺮﺗﻪ، ﺃﻭ
ﺑﻨﻴﺘﻪ ﺃﻭ ﻳﺠﻌﻞ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﻟﻪ ﺑﻌﺪ ﻓﺮﺍﻏﻬﺎ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ .… )ﻗﻮﻟﻪ: ﺃﻣﺎ
ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺇﻟﺦ( ﻗﺎﻝ ﻡ ﺭ: ﻭﻳﺼﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ
ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻣﻮﺭ؛ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻋﻨﺪ
ﻗﺒﺮﻩ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻟﻪ ﻋﻘﺒﻬﺎ ﻭﻧﻴﺘﻪ ﺣﺼﻮﻝ
ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻟﻪ

“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an
adalah bagi si pembaca dan
pahalanya itu juga bisa sampai
kepada mayyit apabila dibaca
dihadapan orang mati, atau
meniatkannya, atau menjadikan
pahalanya untuk orang mati setelah
selesai membaca menurut pendapat
yang kuat (muktamad) tentang hal
itu,…. Frasa (adapun pembacaan al-
Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli
berkata : pahala bacaan al-Qur’an
sampai kepada mayyit apabila telah
ada salah satu dari 3 hal : membaca
disamping quburnya, mendo’akan
untuknya mengiringi pembacaan al-
Qur’an dan meniatkan pahalanya
sampai kepada orang mati.”[7]

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i
rahimahullah:

ﻓﺎﻻﺧﺘﻴﺎﺭ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ﺑﻌﺪ ﻓﺮﺍﻏﻪ:
ﺍﻟﻠﻬﻢّ ﺃﻭﺻﻞْ ﺛﻮﺍﺏَ ﻣﺎ ﻗﺮﺃﺗﻪ ﺇﻟﻰ ﻓﻼﻥٍ؛
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

“Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar
berdo’a setelah pembacaan al-
Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada
Fulan) pahala apa yang telah aku
baca”, wallahu a’lam”.[8]

ﻭﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﺍﻟﻮﺻﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﺳﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻳﺼﺎﻝ
ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ، ﻭﻳﻨﺒﻐﻰ ﺍﻟﺠﺰﻡ ﺑﻪ ﻻﻧﻪ ﺩﻋﺎﺀ،
ﻓﺈﺫﺍ ﺟﺎﺯ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﺑﻤﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﺪﺍﻋﻰ،
ﻓﻼﻥ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻤﺎ ﻫﻮ ﻟﻪ ﺃﻭﻟﻰ، ﻭﻳﺒﻘﻰ ﺍﻻﻣﺮ
ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻗﻮﻓﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﺔ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ، ﻭﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻻ ﻳﺨﺺ ﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀ ﺑﻞ ﻳﺠﺮﻯ ﻓﻲ
ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻻﻋﻤﺎﻝ، ﻭﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻣﺘﻔﻖ
ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻧﻪ ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﺍﻟﺤﻰ ﺍﻟﻘﺮﻳﺐ
ﻭﺍﻟﺒﻌﻴﺪ ﺑﻮﺻﻴﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ

“dan pendapat yang dipilih (qaul
mukhtar) adalah sampai, apabila
memohon kepada Allah
menyampaikan pahala bacaannya,
dan selayaknya melanggengkan
dengan hal ini karena sesungguhnya
ini do’a, sebab apabila boleh
berdo’a untuk orang mati dengan
perkara yang bukan bagi yang
berdo’a, maka kebolehan dengan hal
itu bagi mayyit lebih utama, dan
makna pengertian semacam ini tidak
hanya khusus pada pembacaan al-
Qur’an saja saja, bahkan juga pada
seluruh amal-amal lainnya, dan
faktanya do’a, ulama telah sepakat
bahwa itu bermanfaat bagi orang
mati maupun orang hidup, baik dekat
maupun jauh, baik dengan wasiat
atau tanpa wasiat”. [9]

Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul
Habib :

ﻗﻮﻟﻪ: ) ﻷﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ( ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ
ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻧﻮﻯ ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻟﻪ ﺃﻭ ﺩﻋﺎ ﻋﻘﺒﻬﺎ
ﺑﺤﺼﻮﻝ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻗﺮﺃ ﻋﻨﺪ ﻗﺒﺮﻩ ﺣﺼﻞ
ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﻭﺣﺼﻞ ﻟﻠﻘﺎﺭﺉ
ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ
“Frasa : (karena sesungguhnya do’a
bermanfaat bagi mayyit), walhasil
sesungguhnya apabila pahala bacaan
al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau
di do’akan menyampainya pahala
bacaan al-Qur’an kepada mayyit
mengiringi bacaan al-Qur’an atau
membaca al-Qur’an disamping qubur
niscaya sampai pahala bacaan al-
Qur’an kepada mayyit dan bagi si
qari (pembaca) juga mendapatkan
pahala”. [10]

Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri
didalam As-Siraaj :

ﻭﺗﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺻﺪﻗﺔ ﻋﻨﻪ ﻭﻭﻗﻒ ﻣﺜﻼ
ﻭﺩﻋﺎﺀ ﻣﻦ ﻭﺍﺭﺙ ﻭﺃﺟﻨﺒﻲ ﻛﻤﺎ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻣﺎ
ﻓﻌﻠﻪ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻏﻴﺮ
ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻭﻥ ﻋﻠﻰ
ﻧﻔﻊ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻭﺻﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﻣﺎ ﻗﺮﺃﻧﺎﻩ ﻟﻔﻼﻥ ﺑﻞ ﻫﺬﺍ
ﻻ ﻳﺨﺘﺺ ﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻓﻜﻞ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺨﻴﺮ
ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺴﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻣﺜﻞ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ
ﻟﻠﻤﻴﺖ ﻓﺎﻥ ﺍﻟﻤﺘﺼﺪﻕ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻻ
ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﺟﺮﻩ ﺷﻲﺀ

“Bermanfaat bagi mayyit yakni
shadaqah mengatas namakan mayyit,
misalnya waqaf, dan (juga
bermanfaat bagi mayyit yakni) do’a
dari ahli warisnya dan orang lain,
sebagaimana bermanfaatnya perkara
yang dikerjakannya pada masa
hidupnya, namun yang lainnya tidak
memberikan manfaat seperti shalat
dan membaca al-Qur’an, akan tetapi
ulama mutakhkhirin menetapkan atas
bermanfaatnya pembacaan al-
Qur’an, oleh karena itu sepatutnya
berdo’a :
 “ya Allah sampaikanlah
pahala apa yang telah kami baca
kepada Fulan”, bahkan hal semacam
ini tidak hanya khusus pembacaan al-
Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal
kebajikan lainnya juga boleh dengan
cara memohon kepada Allah agar
menjadikan pahalanya untuk mayyit,
dan sesuangguhnya orang yang
bershadaqah mengatas namakan
mayyit pahalanya tidak dikurangi”. .
[11]

Dari beberapa keterangan ulama-
ulama Syafi’iyah diatas maka dapat
disimpulkan bahwa qaul masyhur pun
sebenarnya menyatakan sampai
apabila al-Qur’an dibaca hadapan
mayyit termasuk membaca disamping
qubur, [12]
 juga sampai apabila
meniatkan pahalanya untuk orang
mati yakni pahalanya ditujukan untuk
orang mati, dan juga sampai apabila
mendo’akan bacaan al-Qur’an yang
telah dibaca agar disampaikan
kepada orang yang mati. Sekali Lagi
Wahabi Sebagai Peta Bi’ah Dunia
seharusnya membaca lebih teliti.

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : Ma’rifatus Sunani wal Atsar
[7743] lil-Imam al-Muhaddits al-
Baihaqi.

[2] Lihat : Riyadlush Shalihin [1/295] lil-
Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin
[6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi
al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i
(Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26]
lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.

[3] Lihat : Fathul Wahab bisyarhi
Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-
Anshari asy-Syafi’i [2/23].

[4] Lihat : al-Fatawa al-Fiqhiyah al-
Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami
[2/27].

[5] Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi
al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami
[7/74].

[6] Lihat : Futuhaat al-Wahab li-Syaikh
Sulailman al-Jamal [2/210].

[7] Lihat : Ibid [4/67] ;

[8] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-
Nawawi [293]

[9] Lihat : al-Majmu’ syarah al-
Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi
[15/522].

[10] Lihat : Tuhfatul Habib (Hasyiyah
al-Bujairami alaa al-Khatib) [2/303]

[11] Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa
Matni al-Minhaj lil-‘Allamah
Muhammad az-Zuhri [1/344]

[12] Banyak komentar dan anjuran
ulama Syafi’iyyah tentang membaca
al-Qur’an di quburan untuk mayyit,
sebagaimana yang sebagiannya telah
disebutkan termasuk oleh al-Imam
Syafi’i sendiri. Adapun berikut
diantara komentar lainnya, yang juga
berasal dari ulama Syafi’iyyah
diantara lain :
 al-Imam Ar-Rafi’i
didalam Fathul ‘Aziz bisyarhi al-Wajiz
[5/249]

ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺰﺍﺋﺮ ﺳﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺩﺍﺭ
ﻗﻮﻡ ﻣﺆﻣﻨﻴﻦ ﻭﺍﻧﺎ ﺍﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﻗﺮﻳﺐ
ﺑﻜﻢ ﻻﺣﻘﻮﻥ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻻ ﺗﺤﺮﻣﻨﺎ ﺃﺟﺮﻫﻢ ﻭﻻ
ﺗﻔﺘﻨﺎ ﺑﻌﺪﻫﻢ ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺪﻧﻮ ﺍﻟﺰﺍﺋﺮ
ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺍﻟﻤﺰﻭﺭ ﺑﻘﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﺪﻧﻮ ﻣﻦ
ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺣﻴﺎ ﻭﺯﺍﺭﻩ ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﻘﺎﺿﻰ
ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﻋﻦ ﺧﺘﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ
ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻟﻠﻘﺎﺭﺉ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻴﺖ
ﻛﺎﻟﺤﺎﺿﺮﻳﻦ ﻳﺮﺟﻰ ﻟﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ ﻭﺍﻟﺒﺮﻛﺔ
ﻓﻴﺴﺘﺤﺐ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ ﻟﻬﺬﺍ
ﺍﻟﻤﻌﻨﻲ ﻭﺃﻳﻀﺎ ﻓﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﻋﻘﻴﺐ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ
ﺃﻗﺮﺏ ﺍﻟﻲ ﺍﻻﺟﺎﺑﺔ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ

“dan sunnah agar peziarah
mengucapkan : “Salamun ‘Alaykum
dara qaumi Mukminiin wa Innaa
InsyaAllahu ‘an qariibi bikum laa
hiquun Allahumma laa tahrimnaa
ajrahum wa laa taftinnaa ba’dahum”,

dan sepatutnya zair (peziarah)
mendekat ke kubur yang diziarahi
seperti dekat kepada sahabatnya
ketika masih hidup ketika
mengunjunginya, al-Qadli Abu ath-
Thayyib ditanya tentang
mengkhatamkan al-Qur’an
dipekuburan maka beliau menjawab ;
ada pahala bagi pembacanya,
sedangkan mayyit seperti orang yang
hadir yang diharapkan mendapatkan
rahmat dan berkah baginya, Maka
disunnahkan membaca al-Qur’an di
pequburan berdasarkan pengertian
ini (yaitu mayyit bisa mendapatkan
rahmat dan berkah dari pembacaan
al-Qur’an) dan juga berdo’a
mengiringi bacaan al-Qur’an niscaya
lebih dekat untuk diterima sebab
do’a bermanfaat bagi mayyit”.

Al-Imam Ar-Ramli didalam Nihayatul
Muhtaj ilaa syarhi al-Minhaj [3/36] :

ﻭﻳﻘﺮﺃ ﻭﻳﺪﻋﻮ( ﻋﻘﺐ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ، ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻳﻨﻔﻊ
ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻫﻮ ﻋﻘﺐ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺃﻗﺮﺏ ﻟﻺﺟﺎﺑﺔ

“dan (disunnahkan ketika ziarah)
membaca al-Qur’an dan berdo’a
mengiri pembacaan al-Qur’an,
sedangkan do’a bermanfaat bagi
mayyit, dan do’a mengiringi bacaan
al-Qur’an lebih dekat di ijabah”

Al-‘Allamah Syaikh Zainuddin bin ‘Abdil
‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in
[hal. 229] :

ﻭﻳﺴﻦ ﻛﻤﺎ ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ
ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﻓﻴﺪﻋﻮ ﻟﻪ
ﻣﺴﺘﻘﺒﻼ ﻟﻠﻘﺒﻠﺔ

“disunnahkan –sebagaimana nas
(hadits) yang menerangkan tentang
hal itu- agar membaca apa yang
dirasa mudah dari al-Qur’an diatas
qubur, kemudian berdo’a untuk
mayyit menghadap ke qiblat”

Imam Ahmad Salamah al-Qalyubiy
didalam Hasyiyatani Qalyubi wa
‘Umairah pada pembahasan terkait
ziarah qubur :

ﻗﻮﻟﻪ : )ﻭﻳﻘﺮﺃ( ﺃﻱ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻳﻬﺪﻱ
ﺛﻮﺍﺑﻪ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﻭﺣﺪﻩ ﺃﻭ ﻣﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺠﺒﺎﻧﺔ،
ﻭﻣﻤﺎ ﻭﺭﺩ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﺳﻮﺭﺓ
ﺍﻹﺧﻼﺹ ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ ﻣﺮﺓ، ﻭﺃﻫﺪﻯ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ
ﺍﻟﺠﺒﺎﻧﺔ ﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﺫﻧﻮﺏ ﺑﻌﺪﺩ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ
ﻓﻴﻬﺎ

“frasa (dan –disunnahkan- membaca
al-Qur’an) yakni sesuatu yang mudah
dari al-Qur’an, kemudian
menghadiahkan pahalanya kepada
satu mayyit atau bersamaan ahl
qubur lainnya, dan diantara yang
telah warid dari salafush shalih
adalah bahwa barangsiapa yang
membaca surah al-Ikhlas 11 kali, dan
menghadiahkan pahalanya kepada
ahl qubur maka diampuni dosanya
sebanyak orang yang mati
dipekuburan itu”.

Syaikh Mushthafa al-Buhgha dan
Syaikh Mushthafaa al-Khin didalam al-
Fiqhul Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam
asy-Syafi’i rahimahullah [juz I, hal.
184] :

ﻣﻦ ﺁﺩﺍﺏ ﺯﻳﺎﺭﺓ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ: ﺇﺫﺍ ﺩﺧﻞ ﺍﻟﺰﺍﺋﺮ
ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ، ﻧﺪﺏ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺴﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ
ﻗﺎﺋﻼً : ” ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺩﺍﺭ ﻗﻮﻡ ﻣﺆﻣﻨﻴﻦ،
ﻭﺇﻧﺎ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻜﻢ ﻻﺣﻘﻮﻥ. ﻭﻟﻴﻘﺮﺃ
ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ
ﺗﻨﺰﻝ ﺣﻴﺚ ﻳُﻘﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ،ﺛﻢ ﻟﻴﺪﻉ ﻟﻬﻢ
ﻋﻘﺐ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ، ﻭﻟﻴﻬﺪِ ﻣﺜﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﺗﻼﻭﺗﻪ
ﻷﺭﻭﺍﺣﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻣﺮﺟﻮ ﺍﻹِﺟﺎﺑﺔ، ﻭﺇﺫﺍ
ﺍﺳﺘﺠﻴﺐ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺍﺳﺘﻔﺎﺩ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻣﻦ ﺛﻮﺍﺏ
ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ . ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ
 .
“Diantara adab ziarah qubur :

apabila seorang peziarah masuk
area pekuburan, disunnahkan
baginya mengucapkan salam kepada
orang yang mati dengan ucapan :

Assalamu ‘alaykum dara qaumin
mukminiin wa innaa InsyaAllahu bikum
laa hiquun”, kemudian disunnahkan
supaya membaca apa yang mudah
dari al-Qur’an disisi qubur mereka,
sebab sesungguhnya rahmat akan
diturunkan ketika dibacakan al-
Qur’an, kemudian disunnahkan
supaya mendo’akan mereka
mengiringi bacaan al-Qur’an, dan
menghadiahkan pahala tilawahnya
untuk arwah mereka, sebab
sesungguhnya do’a diharapkan di
ijabah, apabila do’a dikabulkan maka
pahala bacaan al-Qur’an akan
memberikan manfaat kepada mayyit ,
wallahu ‘alam.”

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
didalam kitab monumentalnya yaitu
Ihyaa’ ‘Ulumuddin [4/492] :

ﻭﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ
“tidak apa-apa dengan membaca al-
Qur’an diatas qubur”



wallahu ‘alam

SEPULUH SYARAT PENTING DALAM BER-IJTIHAD



Ijtihad, merupakan suatu pengerahan total seluruh potensi dan kemampuan dalam bentuk pemikiran, pengkajian, dan penelitian untuk memperoleh keputusan hukum suatu kasus yang tidak dijumpai ketetapannya secara jelas dan tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Oleh sebab itu, ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum ketiga sesudah Al-Qur’an dan Sunnah.

Bidang garapnya dapat mencakup segala bidang – asalkan hasilnya tidak menyalahi kedua sumber hukum utama (Al-Qur’an dan Sunnah).

Kesepuluh syarat berikut sebenarnya “hanyalah” seperangkat keharusan formal yang bertujuan agar ijtihad tidak seenaknya dilakukan oleh sembarangan orang secara sembrono. Metodenya bebas (qiyas, istihsan, dsb). Asalkan saja, jangan sampai tersandung oleh lima rupa kekeliruan yang acap kali merusak sistem, yaitu; JASTIFIKASI (Pembenaran realitas), INTERPOLASI (memasukkan Nash ke dalam kerangka tertentu), MANIPULASI (melepaskan dalil syar’i dari situasi dan kondisinya), SUBYEKTIFIKASI (mengambil sikap tertentu secara prematur terhadap nash), dan INAKURASI (berpegang pada nash yang tidak valid, tidak tepat atau tidak relevan). Yang terpenting di dalam ijtihad adalah kemampuan intelektual untuk menarik kesimpulan. Ini berlaku pada berbagai tingkat ijtihad baik yang mutlak, relatif, maupun yang menyangkut masalah sehari-hari.

Adapun sepuluh syarat itu adalah :

1. Berpengetahuan luas tentang Al-Qur’an dan Ulumul-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an) serta segala yang terkait, teristimewa dalam masalah hukum.

2. Memiliki ilmu yang cukup dalam mengenai hadits, terutama soal hukum dan mengetahui sumber hukum, sejarah, maksud hubungan hadits2 itu dengan hukum-hukum Al-Qur’an.

3. Menguasai masalah-masalah atau tema tema pokok yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’ Sahabat dan ulama Salaf (2 generasi setelah para sahabat Rasulullah SAW).

4. Mempunyai wawasan luas tentang Qiyas dan dapat menggunakannya untuk Istimbath (menggali dan menarik kesimpulan) hukum.

5. Menguasai ilmu Ushuluddin (Dasar-dasar ilmu agama), Ilmu Manthiq (ilmu logika), Bahasa Arab dari segala seginya (Nahwu, Sharaf, Balaghah dsb), dengan cukup sempurna.

6. Punya pengetahuan luas tentang Nasikh-Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dalam Al-Qur’an, Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an) dan tertib turunnya ayat.

7. Mengetahui secara mendalam Asbabul Wurud (sebab-sebab turun) hadits, ilmu riwayat hadits, dan sejarah para perawi hadits, dan dapat membedakan berbagai macam hadits.

8. Menguasai kaidah-kaidah Ushul Fiqh (Dasar-dasar pemahaman hukum).

9. Berpengetahuan lengkap mengenai lima aliran pemikiran dan mempunyai pemahaman kesadaran yang menyeluruh atas realita masa kini, yakni mekanisme, ilmu dan teknologi, cara-cara kerja dari sistem politik dan ekonomi modern, serta kesadaran akan hubungan dan pengaruh mereka terhadap masyarakat budaya dan lingkungan.

10. Harus bersifat adil dan taqwa, hidup dalam kesalehan dan kedisiplinan, serta mengenal manusia dan alam sekitarnya.

Semoga bermanfaat..
Wallahu 'Alamu..

Penyebab Sakitnya Hati



Musibah yang menimpa dan menyebabkan sakitnya hati ada dua; musibah syahwat yang merusak niat dan iradah , dan musibah Syubhat yang merusak ilmu dan i'tiqad.
Rasulullah SAW bersabda,
"Musibah (fitnah) masuk kedalam hati seperti dianyamnya tikar, sehelai demi sehelai. Hati mana pun yang menerimanya akan tertitiklah padanya setitik noda hitam. Hati mana pun yang menolaknya akan tetitiklah padanya setitik cahaya putih. Akhirnya hati akan terbagi menjadi dua; hati yang hitam legam cekung seperti gayung yang terbalik; tidak mengenal kebaikan tidak pula mengenal kemungkaran, selain yang dikehendaki oleh hawa nafsunya, dan hatinya putih bercahaya yang tidak akan tertimpa mudharat fitnah, selama langit dan bumi masih ada".(HR. Muslim)
Rasulullah SAW mengelompokkan hati ketika tertimpa musibah fitnah menjadi dua.
Pertama, hati yang selalu menyerapnya seperti bunga karang yang selalu menyerap air. Maka tertitiklah kepadanya setitik noda hitam. Demikian seterusnya sehingga hati itu menjadi hitam dan terbalik. Inilah maksud tamsil Beliau, "seperti gayung yang terbalik".
Jika telah hitam dan terbalik maka, akan datanglah dua penyakit yang sangat berbahaya yang akan mengantarkan ke jurang kehancuran: (1) Tercampur aduknya kebaikan dan kemungkaran, sehingga ia tidak lagi mengenalinya. Bahkan ia akan dikuasai oleh penyakit ini , sehingga ia kemungkaran sebagai suatu kebaikan, kebaikan sebagai kemungkaran, sunnah sebagai bid'ah, bid'ah sebagai sunnah, kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran. (2) menjadikan hawa nafsu sebagai hakim, pemimpin dengan meninggalkan semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Kedua, hati putih yang bercahaya dengan cahaya iman. Jika musibah fitnah datang, ia pun mengingkari dan menolaknya, sehingga ia pun semakin bercahaya.

Semoga bermanfaat

MUQALLID SAJA

Supaya Tidak Sembarang Berbicara Masalah Hukum Agama; Anda Tidak Akan Mencapai Derajat Mujtahid Maka Anda Harus Menjadi Muqallid

Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas. Maka seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian untuk itu, ia seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para ulama) para ulama sebelumnya.

Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan baiknya.

Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut di atas.

Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi:

" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ حامل مبلغ لا فقه عنده " (رواه الترمذي وابن حبان)

Maknanya: “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Bukti terdapat pada lafazh: فربّ مبلغ لا فقه عنده ""
“Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”.
Dalam riwayat lain: "وربّ مبلغ أوعى من سامع"
“Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.

Bagian dari redaksi hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa ada di antara yang mendengar hadits dari Rasulullah memiliki kapasitas hanya meriwayatkan saja, sementara pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut mungkin kurang, bisa jadi pemahaman orang yang mendengar/mengambil hadits tersebut darinya lebih luas dan lebih komprehensif. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa bisa saja ada sebagian sahabat Nabi di mana sebagian murid mereka mungkin lebih paham terhadap kandungan hadits-hadits Nabi lebih dari pada mereka sendiri.
Pada redaksi hadits lain tentang ini:

" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "

“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya”. (Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Orang yang memiliki kapasitas inilah yang disebut mujtahid yang dimaksud oleh hadits Nabi:

" إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر " (رواه البخاري)

“Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (H.R. al Bukhari)

Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.

Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al-walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun”.

Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal).

Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya !”. Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.

Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”. Di samping itu mereka juga menyalahi para ulama ahli hadits.