Laman

صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Budi Pekerti Yang Paling Tinggi Adalah Rasa Malu Terhadap Diri Sendiri

~MUHASABAH~

MIMPI IMAM HASAN AL BASHRI BERTEMU RASULULLAH SAW DALAM KITABNYA AL MAHBUB

~ MUHASABAHLAH ~

Imam Hasan Al Bashri yang digelari oleh umat sebagai Imamut Tabi’in (Pemimpinnya Para Tabi’in), pada suatu ketika mengalami kebingungan dan kegelisahan dalam dakwahnya. Maka ia pun lalu berkhalwat, menyendiri di suatu tempat untuk beribadah kepada Allah. Lalu ia bermimpi bertemu Rasulullah Saw sedang berdiri di Padang Arafah sambil menangis di hadapan ummatnya. Rasulullah SAW bersabda:

“Sampai hati kalian berkata kepadaku: ‘kami sudah tak mampu lagi membantumu, wahai Rasulullah…’ Padahal aku tak akan mampu mengatakan ucapan itu pada kalian kelak di Hari Kebangkitan. Dan airmataku, demi Allah, telah berlinang mendengar ucapan kalian itu.

Sampai hatikah kalian mengatakan kepadaku: ‘kegembiraanmu sementara harus dibatasi dulu, wahai Rasulullah…’ Padahal siang malam kedua tanganku selalu terangkat untuk kegembiraan kalian.

Sampai hatikah kalian mengatakan kepadaku: ‘kami tak berani mengambil resiko untuk membelamu, wahai Rasulullah…’ Padahal aku tak pernah peduli akan resiko yang menimpaku untuk menolong kalian.

Demi samudera kelembutan Allah yang memenuhi dadaku, aku tak akan tega memerintahkan kalian untuk mengambil resiko dalam membantu urusanku.

Demi kerinduan kalian kepadaku, sampai hatikah kalian hingga masih takut resiko demi membela panjiku.

Ketika seluruh manusia telah berkumpul, masing-masing dengan kebingungan, masing-masing dengan kesulitan, masing-masing dengan ketakutan, maka para malaikat menyingkirkan para manusia untuk membuka jalan bagi kelompok besarku. Maka lewatlah aku dan puluhan ribu pengikutku dengan dipayungi panji-panji yang bertuliskan namaku.

Seorang hamba yang hina berusaha meninggikan kepalanya dan melambai-lambaikan tangannya kepadaku dengan harapan aku akan memanggilnya ke dalam rombonganku. Maka si hamba hina pun menjerit-jerit berteriak-teriak memanggil-manggil namaku sambil berusaha menerobos pagar betis para malaikat yang bertugas membuka jalan bagi kelompokku.

Namun ketika ia berhasil menerobos untuk melihat wajahku dengan jelas, maka kekecewaan merobek hatinya karena aku telah jauh melewatinya.

Maka ia pun berteriak memanggil namaku ‘Ya Habibi Muhammad… Ya Habibi Muhammad…’ sambil mengalirkan airmata kesedihan dan kecewa karena ditnggalkan oleh orang yang paling dirindukannya.

Ia hanya dapat memandang dengan hati yang hancur dalam kesedihan, memandangi kepergian diriku yang selalu didambakannya.

Lalu ia berkata kepada para malaikat, ‘sampaikan salamku pada kekasih hatiku, Muhammad saw, bahwa aku sudah kembali ke tempat yang pantas bagiku, dan sudah tercapai apa yang menjadi niatkuyakni menegakkan panji-panji beliau, dan siksa neraka aku relakan bagi diriku demi tercapainya dambaan hatiku yakni kegembiraan hati beliau.’

Kemudian ia pun berbalik dengan seribu kepiluan meninggalkan tempat yang dari tadi ia berharap dapat menatap wajahku.

Maka kupanggil ia dari kejauhan, dilihatnya seluruh rombonganku berhenti, karena Pemimpin mereka berhenti. Lalu hamba itu melihat bahwa akulah yang memanggilnya, kekasih yang selalu dirindukannya. Kubentangkan kedua tanganku sambil tersenyum lebar, dan aku akan berkata, “Aku tak akan melupakanmu, wahai fulan… aku tak akan meninggalkanmu, wahai fulan… aku tak akan membiarkan orang yang merindukanku, wahai fulan… Maka si hamba hina pun berlari menunduk-nunduk untuk memelukku.

Ia kuberi kesempatan melepas seluruh kerinduannya kepadaku. Ia kuberi hak untuk mendapat kelembutan kasih-sayang dari orang yang paling didamba dan dibelanya.

Sampai hatikah kalian menepis tanganku yang terulur kepada kalian. Kutatap wajah kalian sambil berharap ada diantara kalian yang akan meringankan kesedihanku.”

Dunia Sebagai Ladang Akhirat


“AD-DUNYA MAZRO'ATUL AKHIROH” ~ (Dunia Sebagai Ladang Akhirat)


Dunia tempat menanam, tempat menuai ladang bagi akhirat kelak, tempat hidup selama-lamanya, maka siapa yang tepat didalam melangkah didunia ini, maka di akhirat kelak dia akan mendapatkan keuntungan dan kebahagiaan selama-lamanya, namun sebaliknya siapa yang tersesat melangkahkan jejaknya didunia ini, maka di akhirat kelakpun juga akan merasakan dari akibat jejak langkah-langkahnya,

Wahai saudaraku….
kau arahkan kemana jejak-jejak langkahmu?
Karena hidup didunia ini hanya ada dua pilihan yang ditawarkan Tuhan kepada kita,
Selamat / Bahagia (Surga) selama-lamanya ataukah celaka / sengsara (Neraka) untuk selama-lamanya!

Jejak-jejak SURGA dipenuhi dengan HIKMAH, ucapannya selalu bijaksana tak pernah ada rasa kebencian ataupun yang mengandung fitnah terhadap sesamanya, kerendahan jiwapun mengiringi disetiap langkah-langkahnya, ucapannyapun lemah lembut tidak pernah menyakiti sehingga menyejukkan hati bagi siapa saja yang ada disekitarnya dan apabila mendapatkan pujian ataupun cacian tetap tenang dan santun bagai karang dilautan yang tak terpengaruh oleh besar dan kecilnya arus gelombang ombak dilautan, pemaaf menjadi bukti jejak-jejak langkahnya cermin dari pandangannya yang selalu tertuju kepada Tuhan Sang Maha Pencipta Segala-galanya.
Sebaliknya...

Jejak-Jejak NERAKA tergambarkan didunia ini sebagai kegelapan, hatinya selalu panas, tidak ridho ketika orang lain sukses bukan dirinya, jejak-jejaknya selalu dihiasi penuh dengan keangkuhan-keangkuhan, jiwanya merasa menjadi Tuhan dengan merasa hidup dan merasa punya kemampuan bisa berbuat ini dan itu, merasa terhormat dan mulia, merasa diri pandai berilmu, sehingga timbul kebencian dan suka memfitnah dan menjatuhkan terhadap sesamanya, hingga akrab dengan sifat kebohongan memutar balik fakta dan tega membunuh sesamanya, hatinya keras cermin dari sifat-sifat AMMAROH, bengis dan suka menerkam orang lain bagaikan binatang yg buas!

Untuk itu Wahai saudaraku..
Sebelum kita kedatangan sesosok MALAIKAT yang melenyapkan segala kelezatan, menghentikan segala macam bentuk nafsu syahwat, memporak-porandakan perhimpunan dan membuat sepi penghuni rumah serta membuat ramai suasana alam kubur, dan yang membuat diri kita pisah dengan orang-orang yang kita cintai!

Mari kita koreksi selama ini jejak-jejak langkah-langkah kita mengarah kemana?
Kepada kebahagiaan ataukah kepada kesengsaraan untuk selama-lamanya?
Ingat "HIDUP SEKALI HARUS BERARTI JANGAN SAMPAI TERSESAT DI JALAN"..!!!

Ukirlah kenangan hidupmu sebaik mungkin, karena hidup hakekatnya menulis sejarah!
Jika engkau baik maka selamanya kau terkenang kebaikan pula, tetapi apabila buruk maka keburukkanmu akan terkenang pula selamanya dan menjadi berita bagi anak cucumu kelak!

Tentang Bid,ah

Supaya Jangan Sembarangan Mengklaim Ahli Bid'ah Kepada Orang Lain (Hakekat Bid'ah Lengkap Dari a Sampai z, Mewaspadai Wahabi)

Pengertian Bid’ah



Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:



مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ



“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.



Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:



اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ. وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ: (بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ –بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9، قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ: مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ



“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’ as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).



Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:



اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.



“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih al-Bayan, j. 1, h. 278)



Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:



لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى الضَّلاَلَةِ.



“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang mengajak kepada kesesatan”.



Macam-Macam Bid’ah



Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:

Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.



Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.



Al-Imam asy-Syafi’i berkata :



الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)



“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).



Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:



اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.



“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)



Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.



Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua: Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).



Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:



مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)



“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)



Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya “Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.



Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian; Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah Rasulullah dan para sahabatnya.



Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah



Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah, h. 17-28):



1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:



وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)



“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)



Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.



Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”, artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah, dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah.



2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:



مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)



“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)



Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan: “Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna” tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang sudah ada atau berpegang teguh dengannya.



3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:



مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)



“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)



Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali, niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.



Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah yang disebut dengan bid’ah hasanah.



4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.



Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:



لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ



5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:



أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.



Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.



6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah, karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini beliau berkata:



إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)



“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn Manshur dengan sanad yang Shahih)



Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:



بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)



“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)



Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.



7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:



رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ



Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab: “Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:



رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ



“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.



Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).



7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:



هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ "تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.



“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum “Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat “Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya (an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah (boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).





Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah



Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:



1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:



فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)



“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)



Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna” untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.



Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan dibunuh, beliau menjawab:



صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.



“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang (sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)



2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada bagian Kitab al-Jum'ah).



3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung. Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.



Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.

Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits) dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.



Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz), Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang diharamkan?!



4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!



5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.



6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’, al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar lainnya.



7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu. Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si Fulan…”.



8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah, an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40 tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat pada peletakan atau tujuan awalnya.



Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:



1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:



A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri. Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.



B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya. Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.



C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.



D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.



2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص) atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha' dari kata Allah.





Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah



1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata: “Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:



وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)



Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai bid’ah sesat .



Jawab:

Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya, lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).

Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan. Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.



Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah berfirman:



تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)



Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.



Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.



==============================



2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata: “Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut menjadi tidak berlaku lagi”.



Jawab:

Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:



لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ



“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.



Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana ‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah saja”.



Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.



==============================



3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata: “Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum keutamaannya dalam agama”.



Jawab:

Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:



اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ



“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.



Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya. Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut, maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum. Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!



===============================



4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits “Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.



Jawab:

Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:



فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ. وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ "فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.



“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara baru yang dicela”.



As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:



قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.



“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’ atau tidak”.



Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:



وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.



“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).



Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada ilmu.



Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.



===============================



5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.



Jawab:

Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat “Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”, membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat: “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”, apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.



Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah, bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu Bid’ah Dlalalh” ini?!



Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah: “Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull” di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.

Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:



مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)



“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibn Majah)



Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.



===============================



6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan: “Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.



Jawab:

Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila Biha…”.

Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita jawab: Sama sekail tidak ada.



Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?! Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:



التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم



“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.



Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.

Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah, mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata, menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang, mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.



Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.



Kesimpulan



Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja, melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama mereka kita kutip di sini.



Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan lainnya?! Hasbunallah.

TAHLILAN

TULISAN INI HANYA INGIN MENJAWAB KERAGUAN SAHABAT2 YANG SELALU BERTANYA , APAKAH MEMBACA AL QUR’AN , TAHLIL UNTUK MAYIT SAMPAI PAHALANYA KEMAYIT ? JAWABANNYA DI BAWAH INI (SILAHKAN DI BACA )

~ Hukum Berkumpul Dan Membaca Al-Qur'an Serta Dzikir Untuk Mayit ~

Mengadakan pertemuan atau perkumpulan untuk membaca Tahlil, seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat di berbagai tempat dengan membaca Al-Qur'an, Sholawat, Istighfar dan Dzikir yang pahalanya dihadiahkan kepada orang muslim yang telah meninggal adalah BOLEH, BAIK dan BENAR !!!

Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani berkata : "Kebiasaan di sebagian negara mengenai perkumpulan atau pertemuan di masjid, rumah, diatas kubur untuk membaca Al-Qur'an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia tidak diragukan lagi hukumnya boleh (Jaiz), jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran meskipun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syari'at. Kegiatan melaksanakan perkumpulan itu pada dasarnya bukanlah sesuatu yang haram (muharram fi nafsih). Apalagi jika didalamnya diisi dengan kegiatan yang dapat menghasilkan ibadah seperti membaca Al-Qur'an atau lainnya. Dan tidaklah tercela menghadiahkan pahala membaca Al-Qur'an atau lainnya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang didasarkan pada hadits shahih seperti "Bacalah surat Yasin kepada orang mati diantara kamu". Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut dilakukan bersama sama didekat mayit atau diatas kuburnya, dan membaca Al-Qur'an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di rumah.”(Al-Rasa'il Al-Salafiyah, hal 46)


BUKAN BID'AH

Selanjutnya Imam Al-Syaukani menyampaikan : "Para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah2 mereka atau di dalam masjid, melagukan syair2, mendiskusikan hadist dan kemudian mereka makan dan minum, padahal di tengah2 mereka ada Nabi saw. Orang yang berpendapat bahwa melaksanakan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan2 haram adalah bid’ah, maka ia salah, karena sesungguhnya bid’ah adalah sesuatu yang dibuat2 dalam masalah agama, sedangkan perkumpulan ini (semacam tahlil), tidak termasuk bid’ah (membuat ibadah baru)." (Al-Rasa’il Al-Salafiyah, hal. 46)


MEMBACA AL-QUR'AN DAN DZIKIR

Rasulullah SAW bersabda : "Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya."

Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah oleh :

• Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
• Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
• Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.


PAHALA SAMPAI KEPADA MAYIT

Seorang mukmin seharusnya tidak perlu ragu terhadap kasih sayang dan kekuasaan Allah SWT. Kalau hanya untuk menyampaikan pahala kepada orang yang telah meninggal dunia tentu saja itu hal yang sangat mudah bagi Allah SWT. Dan perlu diingat bahwa Ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan diantara umat Islam) tidak akan terputus karena kematian.

Imam Al-Syafi’i RA berkata : "Tentang do’a, maka sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambanya untuk berdo’a kepada-Nya, bahkan juga memerintahkan kepada Rasul-Nya. Apabila Allah SWT memperkenankan umat Islam berdo’a untuk saudaranya yang masih hidup, maka tentu diperbolehkan juga berdo’a untuk saudaranya yang telah meninggal dunia. Dan barokah do’a tersebut Insya Allah akan sampai. Sebagaimana Allah SWT Maha Kuasa memberi pahala bagi orang yang hidup, Allah juga Maha Kuasa untuk memberikan manfaatnya kepada mayit." (Diriwayatkan dari Al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i, juz I, hal. 430)

Syah Waliyullah Al-Dahlawi mengatakan : "Termasuk perbuatan sunnah (untuk mendo’akan orang mati) adalah membaca surat Al-Fatihah, karena ia merupakan do’a yang paling baik dan paling luas cakupannya. Allah SWT telah mengajarkan hamba-hamba-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. Diantara do’a Rasul SAW yang terkenal bagi mayat adalah (do’a yang artinya) “Yaa Allah ampunilah orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati di antara kami,…"(Hujjatullah Al-Balighah, juz II, hal. 93)

Ketika membaca surat Al-Fatihah dianjurkan didahului dengan pengkhususan, sebagaimana fatwa Sayyid Al-‘Allamah Abdullah bin Husain Balfaqih : "Bahwa yang lebih utama bagi orang yang membaca surat Al-Fatihah bagi seseorang adalah dengan mengucapkan ila ruhi fulan bin fulan (kepada ruh fulan bin fulan) sebagaimana tradisi yang berlaku. (Hal itu lebih utama diucapkan) karena ruh itu tetap ada sementara tubuh itu hancur."(Bughyatul Mustarsyidin hal. 98).


TIDAK BERTENTANGAN DENGAN FIRMAN ALLAH SWT

Persoalan ini sesungguhnya telah dijawab dengan tuntas oleh Al-Imam Syamsuddin Abi Abdilah ibnu Qayyim Al-Jauziyyah lebih dari 600 tahun yang lalu. Beliau berkata : "Pendapat yang mengatakan bahwa hadits (yang menyatakan sampainya hadiah pahala kepada orang mati) itu bertentangan dengan firman Allah SWT (Al-Najm : 39) 'Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya'. Adalah cerminan sikap yang kurang sopan didalam ungkapannya dan salah besar dalam mengartikannya. Allah SWT telah menjaga agar tidak terjadi kontradiksi antara Hadits denga Al-Qur'an. Bahkan Hadits Rasul SAW SAW merupakan penguat ayat2 Al-Qur'an. Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa hadits tersebut bertolak belakang dengan Al-Qur'an, maka itu berasal dari buruknya pemahaman. Dan hal itu adalah cara yang tidak baik yakni menolah hadits yang sudah jelas dengan dzahir ayat Al-Qur'an (yang disalah pahami)


TUJUH HARI DALAM TAHLILAN

Asal-usul istilah tujuh hari dalam tahlilan mengikuti amal yang dicontohkan sahabat Rasul SAW. Imam Ahmad bin Hanbal RA dalam kitab Al-Zuhd, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Suyuthi dalam kitab Al-Hawi li Al-Fatawi : Hasyim bin Al-Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, Al-Asyja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, ia berkata, Imam Thawus berkata ; "Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka, maka kemudian para kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari itu."(Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 178).

Kebiasaan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan kebiasaan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuthi, sekitar abad IX Hijriyah) di Makkah dan Madinah. Yang jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat Rasul SAW sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat Rasul SAW). (Al-Hawi li Al-Fatawi, juz II, hal. 194).


DZIKIR FIDA’ ATAU SYARWA

Dzikir Fida’ (tebusan) didasarkan dari tuntunan sebuah hadist . Rasulullah SAW bersabda ; "Barangsiapa mengucapkan lailaha illallah sejumlah 71 ribu, berarti orang tersebut telah menebus dirinya dari SWT. Demikian pula jika hal itu dilakukan untuk orang lain."
(Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Sa’id dan Aisyah ra.). (Khazinatul Asrar, hal 188).

Alhasil membaca dzikir lailaha illallah sejumlah 71 ribu, disebut sebagai dzikir fida’ (tebusan). Oleh karena itu janganlah merisaukan soal hukumnya dzikir fida’ tersebut.

Syarwa Kubro dengan membaca surat Al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali kemudian dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, didasarkan kepada hadist Rasil SAW. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang membaca (surat Al-Ikhlas) seratus ribu kali, maka ia telah menebus dirinya kepada Allah SWT. Kemudian ada sebuah seruan dari sisi Allah SWT di langit dan bumi-Nya ; Ingatlah, sesungguhnya si fulan telah dibebaskan oleh Allah SWT dari api nereka, maka barangsiapa mempunyai tanggungan dosa kepadanya, maka menuntutlah kepada Allah SWT. “(Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari Anas bin malik, lihat Tuhfah Al-Murid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, hal. 140)


Semoga Bermanfaat - Salam Ukhuwah Fillah

MARI LUANGKAN AKAL UNTUK SEDIKIT BERFIKIR


Pernyataan qaul masyhur bahwa
pahala bacaan al-Qur’an tidak
sampai kepada orang mati adalah
tidak mutlak, itu karena ada qaul lain
dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang
menyatakan sebaliknya. Disinilah kita
perlu memahami sebuah kalimat
ungkapan karakter bahasa,
sebenarnya jika kita mau sedikit
meluangkan Akal untuk sedikit
berpikir, maka Ungkapan seperti itu
tidak akan membuat kita heran,
kenapa? karena memang sudah
semestinya jika bacaan apapun tidak
akan sampai pada Mayat!! bahkan
tidak hanya bacaan saja, semua
amalan kita tidak akan sampai ke
orang lain, atau mayat. Namun
Pemikiran Salafi/Wahhabi tidak
terbuka untuk ini rupanya.
Demikian juga Perkataan jelek atau
amalan jelek kita juga tidak akan
sampai atau di bebankan kepada
Orang lain atau Mayat, jika memang
amalan jelek kita itu tidak ada
sangkut pautnya dg Orang lain
tersebut atau Mayat itu sendiri. Jadi
Amalan kita itu sampai atau tidaknya
berhubungan dengan kondisi dan
hal-hal tertentu, seperti perkataan
beliau Imam Syafi’i :

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻰ : ﻭﺃﺣﺐ ﻟﻮ ﻗﺮﺉ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺒﺮ
ﻭﺩﻋﻰ ﻟﻠﻤﻴﺖ

“asy-Syafi’i berkata : aku menyukai
sendainya dibacakan al-Qur’an
disamping qubur dan dibacakan do’a
untuk mayyit” [1]

Demikianlah kita harus memahami
Perkataan seorang Pembesar Agama
Islam sekaliber Imam Syafi,i melalui
para Ulama yang lain, entahlah jika
Mereka Mendaulat Dirinya Setara
Dengan Imam Syafi,i?Juga disebutkan
oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-
Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan yang
lainnya dalam kitab masing-masing
yang redaksinya sebagai berikut :

ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲُّ ﺭَﺣِﻤﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪ : ﻭﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ ﺃﻥْ
ﻳُﻘﺮَﺃَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷﻲﺀٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻘُﺮﺁﻥِ، ﻭَﺇﻥ ﺧَﺘَﻤُﻮﺍ
ﺍﻟﻘُﺮﺁﻥ ﻋِﻨْﺪﻩُ ﻛﺎﻥَ ﺣَﺴﻨﺎً

“Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata : disunnahkan agar membaca
sesuatu dari al-Qur’an disisi
quburnya, dan apabila mereka
mengkhatamkan al-Qur’a disisi
quburnya maka itu bagus” [2]

Kemudian hal ini dijelaskan oleh
‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-
Anshari dalam dalam Fathul Wahab :

ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﻣﺴﻠﻢ
ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻣﻦ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺼﻞ
ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ
ﻳﺼﻞ ﻭﺫﻫﺐ ﺟﻤﺎﻋﺎﺕ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﺇﻟﻰ ﺃﻧﻪ
ﻳﺼﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﺛﻮﺍﺏ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ
ﻭﺻﻮﻡ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻭﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﻣﻦ ﻣﺸﻬﻮﺭ
ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻣﺤﻤﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺮﺃ ﻻ ﺑﺤﻀﺮﺓ
ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻧﻮﺍﻩ
ﻭﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﺑﻞ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲ ﺍﻟﺬﻱ ﺩﻝ ﻋﻠﻴﻪ
ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺑﺎﻻﺳﺘﻨﺒﺎﻁ ﺃﻥ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺇﺫﺍ
ﻗﺼﺪ ﺑﻪ ﻧﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻧﻔﻌﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺫﻟﻚ
ﻭﻗﺪ ﺫﻛﺮﺗﻪ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺮﻭﺽ

“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam
an-Nawawi mengatakan didalam
Syarh Muslim, yakni masyhur dari
madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala
bacaan al-Qur’an tidak sampai
kepada mayyit, sedangkan sebagian
ashhab kami menyatakan sampai, dan
kelompok-kelompok ‘ulama
berpendapat bahwa sampainya
pahala seluruh ibadah kepada mayyit
seperti shalat, puasa, pembacaan al-
Qur’an dan yang lainnya. Dan apa
yang dikatakan sebagai qaul masyhur
dibawa atas pengertian apabila
pembacaannya tidak di hadapan
mayyit, tidak meniatkan pahala
bacaannya untuknya atau
meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya bahkan Imam as-
Subkiy berkata ; “yang menunjukkan
atas hal itu (sampainya pahala)
adalah hadits berdasarkan istinbath
bahwa sebagian al-Qur’an apabila
diqashadkan (ditujukan) dengan
bacaannya akan bermanfaat bagi
mayyit dan diantara yang demikian,
sungguh telah di tuturkannya didalam
syarah ar-Raudlah”. [3]

Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-
Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah
al-Kubraa:

ﻭﻛﻼﻡ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ – ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﻫﺬﺍ
ﺗﺄﻳﻴﺪ ﻟﻠﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻓﻲ ﺣﻤﻠﻬﻢ ﻣﺸﻬﻮﺭ
ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺑﺤﻀﺮﺓ ﺍﻟﻤﻴﺖ
ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻋﻘﺒﻪ

“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini
(bacaan al-Qur’an disamping mayyit/
kuburan) memperkuat pernyataan
ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam
membawa pendapat masyhur diatas
pengertian apabila tidak dihadapan
mayyit atau apabila tidak
mengiringinya dengan do’a”. [4]

Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :

ﻗﺎﻝ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻤﺼﻨﻒ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﻣﺴﻠﻢ: ﺇﻧﻪ
ﻣﺸﻬﻮﺭ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻗﺮﺃ ﻻ ﺑﺤﻀﺮﺓ
ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻟﻢ ﻳﻨﻮ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﻟﻪ
ﺃﻭ ﻧﻮﺍﻩ ﻭﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻟﻪ

“Sesungguhnya pendapat masyhur
adalah diatas pengertian apabila
pembacaan bukan dihadapan mayyit
(hadlirnya mayyit), pembacanya tidak
meniatkan pahala bacaannya untuk
mayyit atau meniatkannya, dan tidak
mendo’akannya untuk mayyit”.[5]

Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-
Jumal didalam Futuuhat al-Wahab
(Hasyiyatul Jumal) mengatakan pula
sebagai berikut :

ﻭﺍﻟﺘﺤﻘﻴﻖ ﺃﻥ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺗﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ
ﺑﺸﺮﻁ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻣﻮﺭ ﺇﻣﺎ ﺣﻀﻮﺭﻩ ﻋﻨﺪﻩ
ﺃﻭ ﻗﺼﺪﻩ ﻟﻪ، ﻭﻟﻮ ﻣﻊ ﺑﻌﺪ ﺃﻭ ﺩﻋﺎﺅﻩ ﻟﻪ، ﻭﻟﻮ
ﻣﻊ ﺑﻌﺪ ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻩ

“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an
memberikan manfaat bagi mayyit
dengan memenuhi salah satu syarat
dari 3 syarat yakni apabila dibacakan
dihadapan (disisi) orang mati, atau
apabila di qashadkan (diniatkan/
ditujukan) untuk orang mati walaupun
jaraknya jauh, atau mendo’akan
(bacaaannya) untuk orang mati
walaupun jaraknya jauh juga.
Intahaa”.[6]

ﻓﺮﻉ : ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻟﻠﻘﺎﺭﺉ ﻭﻳﺤﺼﻞ ﻣﺜﻠﻪ
ﺃﻳﻀﺎ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﻟﻜﻦ ﺇﻥ ﻛﺎﻧﺖ ﺑﺤﻀﺮﺗﻪ، ﺃﻭ
ﺑﻨﻴﺘﻪ ﺃﻭ ﻳﺠﻌﻞ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﻟﻪ ﺑﻌﺪ ﻓﺮﺍﻏﻬﺎ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ .… )ﻗﻮﻟﻪ: ﺃﻣﺎ
ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺇﻟﺦ( ﻗﺎﻝ ﻡ ﺭ: ﻭﻳﺼﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ
ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪ ﻭﺍﺣﺪ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻣﻮﺭ؛ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻋﻨﺪ
ﻗﺒﺮﻩ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻟﻪ ﻋﻘﺒﻬﺎ ﻭﻧﻴﺘﻪ ﺣﺼﻮﻝ
ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻟﻪ

“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an
adalah bagi si pembaca dan
pahalanya itu juga bisa sampai
kepada mayyit apabila dibaca
dihadapan orang mati, atau
meniatkannya, atau menjadikan
pahalanya untuk orang mati setelah
selesai membaca menurut pendapat
yang kuat (muktamad) tentang hal
itu,…. Frasa (adapun pembacaan al-
Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli
berkata : pahala bacaan al-Qur’an
sampai kepada mayyit apabila telah
ada salah satu dari 3 hal : membaca
disamping quburnya, mendo’akan
untuknya mengiringi pembacaan al-
Qur’an dan meniatkan pahalanya
sampai kepada orang mati.”[7]

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i
rahimahullah:

ﻓﺎﻻﺧﺘﻴﺎﺭ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﻘﺎﺭﺉ ﺑﻌﺪ ﻓﺮﺍﻏﻪ:
ﺍﻟﻠﻬﻢّ ﺃﻭﺻﻞْ ﺛﻮﺍﺏَ ﻣﺎ ﻗﺮﺃﺗﻪ ﺇﻟﻰ ﻓﻼﻥٍ؛
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ

“Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar
berdo’a setelah pembacaan al-
Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada
Fulan) pahala apa yang telah aku
baca”, wallahu a’lam”.[8]

ﻭﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﺍﻟﻮﺻﻮﻝ ﺇﺫﺍ ﺳﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻳﺼﺎﻝ
ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ، ﻭﻳﻨﺒﻐﻰ ﺍﻟﺠﺰﻡ ﺑﻪ ﻻﻧﻪ ﺩﻋﺎﺀ،
ﻓﺈﺫﺍ ﺟﺎﺯ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﺑﻤﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻠﺪﺍﻋﻰ،
ﻓﻼﻥ ﻳﺠﻮﺯ ﺑﻤﺎ ﻫﻮ ﻟﻪ ﺃﻭﻟﻰ، ﻭﻳﺒﻘﻰ ﺍﻻﻣﺮ
ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻗﻮﻓﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﺘﺠﺎﺑﺔ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ، ﻭﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻻ ﻳﺨﺺ ﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀ ﺑﻞ ﻳﺠﺮﻯ ﻓﻲ
ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻻﻋﻤﺎﻝ، ﻭﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻣﺘﻔﻖ
ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻧﻪ ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﺍﻟﺤﻰ ﺍﻟﻘﺮﻳﺐ
ﻭﺍﻟﺒﻌﻴﺪ ﺑﻮﺻﻴﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ

“dan pendapat yang dipilih (qaul
mukhtar) adalah sampai, apabila
memohon kepada Allah
menyampaikan pahala bacaannya,
dan selayaknya melanggengkan
dengan hal ini karena sesungguhnya
ini do’a, sebab apabila boleh
berdo’a untuk orang mati dengan
perkara yang bukan bagi yang
berdo’a, maka kebolehan dengan hal
itu bagi mayyit lebih utama, dan
makna pengertian semacam ini tidak
hanya khusus pada pembacaan al-
Qur’an saja saja, bahkan juga pada
seluruh amal-amal lainnya, dan
faktanya do’a, ulama telah sepakat
bahwa itu bermanfaat bagi orang
mati maupun orang hidup, baik dekat
maupun jauh, baik dengan wasiat
atau tanpa wasiat”. [9]

Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul
Habib :

ﻗﻮﻟﻪ: ) ﻷﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ( ﻭﺍﻟﺤﺎﺻﻞ
ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﻧﻮﻯ ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻟﻪ ﺃﻭ ﺩﻋﺎ ﻋﻘﺒﻬﺎ
ﺑﺤﺼﻮﻝ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﻟﻪ ﺃﻭ ﻗﺮﺃ ﻋﻨﺪ ﻗﺒﺮﻩ ﺣﺼﻞ
ﻟﻪ ﻣﺜﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ ﻭﺣﺼﻞ ﻟﻠﻘﺎﺭﺉ
ﺃﻳﻀﺎ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ
“Frasa : (karena sesungguhnya do’a
bermanfaat bagi mayyit), walhasil
sesungguhnya apabila pahala bacaan
al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau
di do’akan menyampainya pahala
bacaan al-Qur’an kepada mayyit
mengiringi bacaan al-Qur’an atau
membaca al-Qur’an disamping qubur
niscaya sampai pahala bacaan al-
Qur’an kepada mayyit dan bagi si
qari (pembaca) juga mendapatkan
pahala”. [10]

Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri
didalam As-Siraaj :

ﻭﺗﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﺻﺪﻗﺔ ﻋﻨﻪ ﻭﻭﻗﻒ ﻣﺜﻼ
ﻭﺩﻋﺎﺀ ﻣﻦ ﻭﺍﺭﺙ ﻭﺃﺟﻨﺒﻲ ﻛﻤﺎ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻣﺎ
ﻓﻌﻠﻪ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﺣﻴﺎﺗﻪ ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻏﻴﺮ
ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺻﻼﺓ ﻭﻗﺮﺍﺀﺓ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻭﻥ ﻋﻠﻰ
ﻧﻔﻊ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻘﻮﻝ
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻭﺻﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﻣﺎ ﻗﺮﺃﻧﺎﻩ ﻟﻔﻼﻥ ﺑﻞ ﻫﺬﺍ
ﻻ ﻳﺨﺘﺺ ﺑﺎﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﻓﻜﻞ ﺃﻋﻤﺎﻝ ﺍﻟﺨﻴﺮ
ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺴﺄﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻣﺜﻞ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ
ﻟﻠﻤﻴﺖ ﻓﺎﻥ ﺍﻟﻤﺘﺼﺪﻕ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻻ
ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﺟﺮﻩ ﺷﻲﺀ

“Bermanfaat bagi mayyit yakni
shadaqah mengatas namakan mayyit,
misalnya waqaf, dan (juga
bermanfaat bagi mayyit yakni) do’a
dari ahli warisnya dan orang lain,
sebagaimana bermanfaatnya perkara
yang dikerjakannya pada masa
hidupnya, namun yang lainnya tidak
memberikan manfaat seperti shalat
dan membaca al-Qur’an, akan tetapi
ulama mutakhkhirin menetapkan atas
bermanfaatnya pembacaan al-
Qur’an, oleh karena itu sepatutnya
berdo’a :
 “ya Allah sampaikanlah
pahala apa yang telah kami baca
kepada Fulan”, bahkan hal semacam
ini tidak hanya khusus pembacaan al-
Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal
kebajikan lainnya juga boleh dengan
cara memohon kepada Allah agar
menjadikan pahalanya untuk mayyit,
dan sesuangguhnya orang yang
bershadaqah mengatas namakan
mayyit pahalanya tidak dikurangi”. .
[11]

Dari beberapa keterangan ulama-
ulama Syafi’iyah diatas maka dapat
disimpulkan bahwa qaul masyhur pun
sebenarnya menyatakan sampai
apabila al-Qur’an dibaca hadapan
mayyit termasuk membaca disamping
qubur, [12]
 juga sampai apabila
meniatkan pahalanya untuk orang
mati yakni pahalanya ditujukan untuk
orang mati, dan juga sampai apabila
mendo’akan bacaan al-Qur’an yang
telah dibaca agar disampaikan
kepada orang yang mati. Sekali Lagi
Wahabi Sebagai Peta Bi’ah Dunia
seharusnya membaca lebih teliti.

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : Ma’rifatus Sunani wal Atsar
[7743] lil-Imam al-Muhaddits al-
Baihaqi.

[2] Lihat : Riyadlush Shalihin [1/295] lil-
Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin
[6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi
al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i
(Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26]
lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.

[3] Lihat : Fathul Wahab bisyarhi
Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-
Anshari asy-Syafi’i [2/23].

[4] Lihat : al-Fatawa al-Fiqhiyah al-
Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami
[2/27].

[5] Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi
al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami
[7/74].

[6] Lihat : Futuhaat al-Wahab li-Syaikh
Sulailman al-Jamal [2/210].

[7] Lihat : Ibid [4/67] ;

[8] Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-
Nawawi [293]

[9] Lihat : al-Majmu’ syarah al-
Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi
[15/522].

[10] Lihat : Tuhfatul Habib (Hasyiyah
al-Bujairami alaa al-Khatib) [2/303]

[11] Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa
Matni al-Minhaj lil-‘Allamah
Muhammad az-Zuhri [1/344]

[12] Banyak komentar dan anjuran
ulama Syafi’iyyah tentang membaca
al-Qur’an di quburan untuk mayyit,
sebagaimana yang sebagiannya telah
disebutkan termasuk oleh al-Imam
Syafi’i sendiri. Adapun berikut
diantara komentar lainnya, yang juga
berasal dari ulama Syafi’iyyah
diantara lain :
 al-Imam Ar-Rafi’i
didalam Fathul ‘Aziz bisyarhi al-Wajiz
[5/249]

ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻟﺰﺍﺋﺮ ﺳﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺩﺍﺭ
ﻗﻮﻡ ﻣﺆﻣﻨﻴﻦ ﻭﺍﻧﺎ ﺍﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﻗﺮﻳﺐ
ﺑﻜﻢ ﻻﺣﻘﻮﻥ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻻ ﺗﺤﺮﻣﻨﺎ ﺃﺟﺮﻫﻢ ﻭﻻ
ﺗﻔﺘﻨﺎ ﺑﻌﺪﻫﻢ ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺪﻧﻮ ﺍﻟﺰﺍﺋﺮ
ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺍﻟﻤﺰﻭﺭ ﺑﻘﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﺪﻧﻮ ﻣﻦ
ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺣﻴﺎ ﻭﺯﺍﺭﻩ ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﻘﺎﺿﻰ
ﺃﺑﻮ ﺍﻟﻄﻴﺐ ﻋﻦ ﺧﺘﻢ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ
ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﺜﻮﺍﺏ ﻟﻠﻘﺎﺭﺉ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻤﻴﺖ
ﻛﺎﻟﺤﺎﺿﺮﻳﻦ ﻳﺮﺟﻰ ﻟﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ ﻭﺍﻟﺒﺮﻛﺔ
ﻓﻴﺴﺘﺤﺐ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻘﺎﺑﺮ ﻟﻬﺬﺍ
ﺍﻟﻤﻌﻨﻲ ﻭﺃﻳﻀﺎ ﻓﺎﻟﺪﻋﺎﺀ ﻋﻘﻴﺐ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ
ﺃﻗﺮﺏ ﺍﻟﻲ ﺍﻻﺟﺎﺑﺔ ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻤﻴﺖ

“dan sunnah agar peziarah
mengucapkan : “Salamun ‘Alaykum
dara qaumi Mukminiin wa Innaa
InsyaAllahu ‘an qariibi bikum laa
hiquun Allahumma laa tahrimnaa
ajrahum wa laa taftinnaa ba’dahum”,

dan sepatutnya zair (peziarah)
mendekat ke kubur yang diziarahi
seperti dekat kepada sahabatnya
ketika masih hidup ketika
mengunjunginya, al-Qadli Abu ath-
Thayyib ditanya tentang
mengkhatamkan al-Qur’an
dipekuburan maka beliau menjawab ;
ada pahala bagi pembacanya,
sedangkan mayyit seperti orang yang
hadir yang diharapkan mendapatkan
rahmat dan berkah baginya, Maka
disunnahkan membaca al-Qur’an di
pequburan berdasarkan pengertian
ini (yaitu mayyit bisa mendapatkan
rahmat dan berkah dari pembacaan
al-Qur’an) dan juga berdo’a
mengiringi bacaan al-Qur’an niscaya
lebih dekat untuk diterima sebab
do’a bermanfaat bagi mayyit”.

Al-Imam Ar-Ramli didalam Nihayatul
Muhtaj ilaa syarhi al-Minhaj [3/36] :

ﻭﻳﻘﺮﺃ ﻭﻳﺪﻋﻮ( ﻋﻘﺐ ﻗﺮﺍﺀﺗﻪ، ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻳﻨﻔﻊ
ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻭﻫﻮ ﻋﻘﺐ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ ﺃﻗﺮﺏ ﻟﻺﺟﺎﺑﺔ

“dan (disunnahkan ketika ziarah)
membaca al-Qur’an dan berdo’a
mengiri pembacaan al-Qur’an,
sedangkan do’a bermanfaat bagi
mayyit, dan do’a mengiringi bacaan
al-Qur’an lebih dekat di ijabah”

Al-‘Allamah Syaikh Zainuddin bin ‘Abdil
‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in
[hal. 229] :

ﻭﻳﺴﻦ ﻛﻤﺎ ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻥ ﻳﻘﺮﺃ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ
ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﻓﻴﺪﻋﻮ ﻟﻪ
ﻣﺴﺘﻘﺒﻼ ﻟﻠﻘﺒﻠﺔ

“disunnahkan –sebagaimana nas
(hadits) yang menerangkan tentang
hal itu- agar membaca apa yang
dirasa mudah dari al-Qur’an diatas
qubur, kemudian berdo’a untuk
mayyit menghadap ke qiblat”

Imam Ahmad Salamah al-Qalyubiy
didalam Hasyiyatani Qalyubi wa
‘Umairah pada pembahasan terkait
ziarah qubur :

ﻗﻮﻟﻪ : )ﻭﻳﻘﺮﺃ( ﺃﻱ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻳﻬﺪﻱ
ﺛﻮﺍﺑﻪ ﻟﻠﻤﻴﺖ ﻭﺣﺪﻩ ﺃﻭ ﻣﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺠﺒﺎﻧﺔ،
ﻭﻣﻤﺎ ﻭﺭﺩ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﺃﻧﻪ ﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﺳﻮﺭﺓ
ﺍﻹﺧﻼﺹ ﺇﺣﺪﻯ ﻋﺸﺮﺓ ﻣﺮﺓ، ﻭﺃﻫﺪﻯ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ
ﺍﻟﺠﺒﺎﻧﺔ ﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﺫﻧﻮﺏ ﺑﻌﺪﺩ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ
ﻓﻴﻬﺎ

“frasa (dan –disunnahkan- membaca
al-Qur’an) yakni sesuatu yang mudah
dari al-Qur’an, kemudian
menghadiahkan pahalanya kepada
satu mayyit atau bersamaan ahl
qubur lainnya, dan diantara yang
telah warid dari salafush shalih
adalah bahwa barangsiapa yang
membaca surah al-Ikhlas 11 kali, dan
menghadiahkan pahalanya kepada
ahl qubur maka diampuni dosanya
sebanyak orang yang mati
dipekuburan itu”.

Syaikh Mushthafa al-Buhgha dan
Syaikh Mushthafaa al-Khin didalam al-
Fiqhul Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam
asy-Syafi’i rahimahullah [juz I, hal.
184] :

ﻣﻦ ﺁﺩﺍﺏ ﺯﻳﺎﺭﺓ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ: ﺇﺫﺍ ﺩﺧﻞ ﺍﻟﺰﺍﺋﺮ
ﺍﻟﻤﻘﺒﺮﺓ، ﻧﺪﺏ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺴﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ
ﻗﺎﺋﻼً : ” ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺩﺍﺭ ﻗﻮﻡ ﻣﺆﻣﻨﻴﻦ،
ﻭﺇﻧﺎ ﺇﻥ ﺷﺎﺀ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻜﻢ ﻻﺣﻘﻮﻥ. ﻭﻟﻴﻘﺮﺃ
ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ
ﺗﻨﺰﻝ ﺣﻴﺚ ﻳُﻘﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ،ﺛﻢ ﻟﻴﺪﻉ ﻟﻬﻢ
ﻋﻘﺐ ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ، ﻭﻟﻴﻬﺪِ ﻣﺜﻞ ﺛﻮﺍﺏ ﺗﻼﻭﺗﻪ
ﻷﺭﻭﺍﺣﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻣﺮﺟﻮ ﺍﻹِﺟﺎﺑﺔ، ﻭﺇﺫﺍ
ﺍﺳﺘﺠﻴﺐ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺍﺳﺘﻔﺎﺩ ﺍﻟﻤﻴﺖ ﻣﻦ ﺛﻮﺍﺏ
ﺍﻟﻘﺮﺍﺀﺓ . ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺍﻋﻠﻢ
 .
“Diantara adab ziarah qubur :

apabila seorang peziarah masuk
area pekuburan, disunnahkan
baginya mengucapkan salam kepada
orang yang mati dengan ucapan :

Assalamu ‘alaykum dara qaumin
mukminiin wa innaa InsyaAllahu bikum
laa hiquun”, kemudian disunnahkan
supaya membaca apa yang mudah
dari al-Qur’an disisi qubur mereka,
sebab sesungguhnya rahmat akan
diturunkan ketika dibacakan al-
Qur’an, kemudian disunnahkan
supaya mendo’akan mereka
mengiringi bacaan al-Qur’an, dan
menghadiahkan pahala tilawahnya
untuk arwah mereka, sebab
sesungguhnya do’a diharapkan di
ijabah, apabila do’a dikabulkan maka
pahala bacaan al-Qur’an akan
memberikan manfaat kepada mayyit ,
wallahu ‘alam.”

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
didalam kitab monumentalnya yaitu
Ihyaa’ ‘Ulumuddin [4/492] :

ﻭﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻘﺮﺍﺀﺓ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﺒﻮﺭ
“tidak apa-apa dengan membaca al-
Qur’an diatas qubur”



wallahu ‘alam

SEPULUH SYARAT PENTING DALAM BER-IJTIHAD



Ijtihad, merupakan suatu pengerahan total seluruh potensi dan kemampuan dalam bentuk pemikiran, pengkajian, dan penelitian untuk memperoleh keputusan hukum suatu kasus yang tidak dijumpai ketetapannya secara jelas dan tegas dalam Al-Qur’an dan Hadits. Oleh sebab itu, ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum ketiga sesudah Al-Qur’an dan Sunnah.

Bidang garapnya dapat mencakup segala bidang – asalkan hasilnya tidak menyalahi kedua sumber hukum utama (Al-Qur’an dan Sunnah).

Kesepuluh syarat berikut sebenarnya “hanyalah” seperangkat keharusan formal yang bertujuan agar ijtihad tidak seenaknya dilakukan oleh sembarangan orang secara sembrono. Metodenya bebas (qiyas, istihsan, dsb). Asalkan saja, jangan sampai tersandung oleh lima rupa kekeliruan yang acap kali merusak sistem, yaitu; JASTIFIKASI (Pembenaran realitas), INTERPOLASI (memasukkan Nash ke dalam kerangka tertentu), MANIPULASI (melepaskan dalil syar’i dari situasi dan kondisinya), SUBYEKTIFIKASI (mengambil sikap tertentu secara prematur terhadap nash), dan INAKURASI (berpegang pada nash yang tidak valid, tidak tepat atau tidak relevan). Yang terpenting di dalam ijtihad adalah kemampuan intelektual untuk menarik kesimpulan. Ini berlaku pada berbagai tingkat ijtihad baik yang mutlak, relatif, maupun yang menyangkut masalah sehari-hari.

Adapun sepuluh syarat itu adalah :

1. Berpengetahuan luas tentang Al-Qur’an dan Ulumul-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an) serta segala yang terkait, teristimewa dalam masalah hukum.

2. Memiliki ilmu yang cukup dalam mengenai hadits, terutama soal hukum dan mengetahui sumber hukum, sejarah, maksud hubungan hadits2 itu dengan hukum-hukum Al-Qur’an.

3. Menguasai masalah-masalah atau tema tema pokok yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’ Sahabat dan ulama Salaf (2 generasi setelah para sahabat Rasulullah SAW).

4. Mempunyai wawasan luas tentang Qiyas dan dapat menggunakannya untuk Istimbath (menggali dan menarik kesimpulan) hukum.

5. Menguasai ilmu Ushuluddin (Dasar-dasar ilmu agama), Ilmu Manthiq (ilmu logika), Bahasa Arab dari segala seginya (Nahwu, Sharaf, Balaghah dsb), dengan cukup sempurna.

6. Punya pengetahuan luas tentang Nasikh-Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dalam Al-Qur’an, Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an) dan tertib turunnya ayat.

7. Mengetahui secara mendalam Asbabul Wurud (sebab-sebab turun) hadits, ilmu riwayat hadits, dan sejarah para perawi hadits, dan dapat membedakan berbagai macam hadits.

8. Menguasai kaidah-kaidah Ushul Fiqh (Dasar-dasar pemahaman hukum).

9. Berpengetahuan lengkap mengenai lima aliran pemikiran dan mempunyai pemahaman kesadaran yang menyeluruh atas realita masa kini, yakni mekanisme, ilmu dan teknologi, cara-cara kerja dari sistem politik dan ekonomi modern, serta kesadaran akan hubungan dan pengaruh mereka terhadap masyarakat budaya dan lingkungan.

10. Harus bersifat adil dan taqwa, hidup dalam kesalehan dan kedisiplinan, serta mengenal manusia dan alam sekitarnya.

Semoga bermanfaat..
Wallahu 'Alamu..

Penyebab Sakitnya Hati



Musibah yang menimpa dan menyebabkan sakitnya hati ada dua; musibah syahwat yang merusak niat dan iradah , dan musibah Syubhat yang merusak ilmu dan i'tiqad.
Rasulullah SAW bersabda,
"Musibah (fitnah) masuk kedalam hati seperti dianyamnya tikar, sehelai demi sehelai. Hati mana pun yang menerimanya akan tertitiklah padanya setitik noda hitam. Hati mana pun yang menolaknya akan tetitiklah padanya setitik cahaya putih. Akhirnya hati akan terbagi menjadi dua; hati yang hitam legam cekung seperti gayung yang terbalik; tidak mengenal kebaikan tidak pula mengenal kemungkaran, selain yang dikehendaki oleh hawa nafsunya, dan hatinya putih bercahaya yang tidak akan tertimpa mudharat fitnah, selama langit dan bumi masih ada".(HR. Muslim)
Rasulullah SAW mengelompokkan hati ketika tertimpa musibah fitnah menjadi dua.
Pertama, hati yang selalu menyerapnya seperti bunga karang yang selalu menyerap air. Maka tertitiklah kepadanya setitik noda hitam. Demikian seterusnya sehingga hati itu menjadi hitam dan terbalik. Inilah maksud tamsil Beliau, "seperti gayung yang terbalik".
Jika telah hitam dan terbalik maka, akan datanglah dua penyakit yang sangat berbahaya yang akan mengantarkan ke jurang kehancuran: (1) Tercampur aduknya kebaikan dan kemungkaran, sehingga ia tidak lagi mengenalinya. Bahkan ia akan dikuasai oleh penyakit ini , sehingga ia kemungkaran sebagai suatu kebaikan, kebaikan sebagai kemungkaran, sunnah sebagai bid'ah, bid'ah sebagai sunnah, kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran. (2) menjadikan hawa nafsu sebagai hakim, pemimpin dengan meninggalkan semua yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Kedua, hati putih yang bercahaya dengan cahaya iman. Jika musibah fitnah datang, ia pun mengingkari dan menolaknya, sehingga ia pun semakin bercahaya.

Semoga bermanfaat

MUQALLID SAJA

Supaya Tidak Sembarang Berbicara Masalah Hukum Agama; Anda Tidak Akan Mencapai Derajat Mujtahid Maka Anda Harus Menjadi Muqallid

Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas. Maka seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian untuk itu, ia seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh dan mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para ulama) para ulama sebelumnya.

Lebih dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah perbuatan baiknya.

Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut di atas.

Dalil bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi:

" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ حامل مبلغ لا فقه عنده " (رواه الترمذي وابن حبان)

Maknanya: “Allah memberikan kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Bukti terdapat pada lafazh: فربّ مبلغ لا فقه عنده ""
“Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”.
Dalam riwayat lain: "وربّ مبلغ أوعى من سامع"
“Betapa banyak orang yang mendengar (disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.

Bagian dari redaksi hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa ada di antara yang mendengar hadits dari Rasulullah memiliki kapasitas hanya meriwayatkan saja, sementara pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut mungkin kurang, bisa jadi pemahaman orang yang mendengar/mengambil hadits tersebut darinya lebih luas dan lebih komprehensif. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa bisa saja ada sebagian sahabat Nabi di mana sebagian murid mereka mungkin lebih paham terhadap kandungan hadits-hadits Nabi lebih dari pada mereka sendiri.
Pada redaksi hadits lain tentang ini:

" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "

“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham darinya”. (Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban).

Orang yang memiliki kapasitas inilah yang disebut mujtahid yang dimaksud oleh hadits Nabi:

" إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر " (رواه البخاري)

“Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (H.R. al Bukhari)

Dalam hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.

Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al-walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun”.

Laki-laki tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbal).

Senada dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya !”. Jadi obat kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata : " Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya". (H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.

Maka berhati-hati dan waspadalah terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa membagikan lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”. Di samping itu mereka juga menyalahi para ulama ahli hadits.

Ketika Hatimu Terluka..

Ketika hatimu terluka…
Sesungguhnya engkau telah menggoreskan belati ke dalam hatimu.
 

Ketika engkau bersedih & merana…
Sesungguhnya engkau sedang menyayat jantungmu & meracuni pikiranmu.
 

Dan Ketika engkau sedang marah…
Sesungguhnya engkaulah yang sedang membakar jiwamu.


Ketika engkau begitu mudah membuka pintu hati...
Bisa jadi engkau tak pandai menutupnya dikala sudah ada yang bertahta di dalamnya.

Sungguh engkau telah berbuat dzalim terhadap dirimu..
Diri yang seharusnya engkau lindungi,
Jiwa yang semestinya penuh dengan kenikmatan berdzikir dan mengingat-Nya,
Mengapa engkau biarkan syetan menyusup mengambil alih kemudi hatimu...?

Ketahuilah..

ORANG YANG MULIA yaitu org yg
senantiasa beramal baik namun selalu merasa kalau amal yg dia lakukan itu masih buruk..

ORANG YANG BAIK yaitu saat dia
melakukan keburukan diapun sadar dan mengakui kalau yg dia lakukan itu memang buruk..

ORANG YANG HINA yaitu org yg
beramal baik lantas dia merasa kalau amal yg dia lakukan itu sdh baik..

ORANG YANG CELAKA yaitu org yg melakukan keburukan namun dia merasa kalau yg dia lakukan itu adalah suatu kebaikan..

Mereka yang kembali pada akal pikirannya sendiri..

Salah satu pokok permasalahan dalam dunia Islam adalah orang-orang yang kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing secara otodidak (shahafi) bersandarkan muthola'ah (menelaah kitab) dan umumnya dengan metodologi "terjemahkan saja" yakni memahami dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.

Kalaupun mereka berguru maka para gurunya pun mengambil ilmu dengan akal pikiran masing-masing secara otodidak (shahafi) bersandarkan muthola'ah (menelaah kitab) dan umumnya dengan metodologi "terjemahkan saja" yakni memahami dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Mereka mengatakan bahwa mereka mengikuti pemahaman Salaful Ummah atau Salafush Sholeh namun pada kenyataannya kita tidak bertemu dengan Salafush Sholeh sehingga mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.

Pada zaman sekarang ini yang tertinggal adalah lafaz atau nash Al Qur'an dan Hadits ataupun perkataan Salafush Sholeh dalam bahasa Arab yang memahaminya dibutuhkan kompetensi seperti ilmu tata bahasa (grammar) seperti ilmu alat , nahwu, sharaf, balaghah dan lain lain

Para ulama yang sholeh terdahulu kita pada umumnya selalu menekankan penguasaan ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebelum mendalami atau "kembali kepada" Al Qur'an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mencirikan mereka yang menyebabkan perselisihan karena perbedaan pemahaman yakni ulama bangsa Arab yang hanya berkemampuan berbahasa Arab saja atau “terjemahkan saja”, sebagaimana dalam sabdanya yang artinya

“Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab)“. Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?” Nabi menjawab; “Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!” Aku bertanya; “kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?” Nabi menjawab; “hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu” (HR Bukhari 6557, HR Muslim 3434)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.

Ulama banga Arab tersebut tentu mengerti bahasa Arab namun mereka tidak memperhatikan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).