Salah satu pokok permasalahan dalam dunia Islam adalah orang-orang
yang kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah dengan akal pikiran
masing-masing secara otodidak (shahafi) bersandarkan muthola'ah
(menelaah kitab) dan umumnya dengan metodologi "terjemahkan saja" yakni
memahami dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari sudut arti
bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Kalaupun mereka berguru maka para gurunya pun mengambil ilmu dengan
akal pikiran masing-masing secara otodidak (shahafi) bersandarkan
muthola'ah (menelaah kitab) dan umumnya dengan metodologi "terjemahkan
saja" yakni memahami dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari
sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa
menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar,
maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya
mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama
dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah
pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Mereka mengatakan bahwa mereka mengikuti pemahaman Salaful Ummah
atau Salafush Sholeh namun pada kenyataannya kita tidak bertemu dengan
Salafush Sholeh sehingga mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.
Pada zaman sekarang ini yang tertinggal adalah lafaz atau nash Al
Qur'an dan Hadits ataupun perkataan Salafush Sholeh dalam bahasa Arab
yang memahaminya dibutuhkan kompetensi seperti ilmu tata bahasa
(grammar) seperti ilmu alat , nahwu, sharaf, balaghah dan lain lain
Para ulama yang sholeh terdahulu kita pada umumnya selalu menekankan
penguasaan ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan
dan badi’) sebelum mendalami atau "kembali kepada" Al Qur'an dan As
Sunnah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mencirikan mereka yang
menyebabkan perselisihan karena perbedaan pemahaman yakni ulama bangsa
Arab yang hanya berkemampuan berbahasa Arab saja atau “terjemahkan
saja”, sebagaimana dalam sabdanya yang artinya
“Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa
kita (bahasa Arab)“. Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan
kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?” Nabi menjawab;
“Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!” Aku
bertanya; “kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?” Nabi
menjawab; “hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu,
sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu
harus tetap seperti itu” (HR Bukhari 6557, HR Muslim 3434)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni
dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita.
Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.
Ulama banga Arab tersebut tentu mengerti bahasa Arab namun mereka
tidak memperhatikan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah dan
disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab
yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan
dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan
dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang
bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah
(ma’ani, bayan dan badi’).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar