Bid’ah dalam pengertian bahasa adalah:
مَا أُحْدِثَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”.
Seorang ahli bahasa terkemuka, Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan sebagai berikut:
اَلإِبْدَاعُ إِنْشَاءُ صَنْعَةٍ بِلاَ احْتِذَاءٍ وَاقْتِدَاءٍ.
وَإِذَا اسْتُعْمِلَ فِيْ اللهِ تَعَالَى فَهُوَ إِيْجَادُ الشَّىْءِ
بِغَيْرِ ءَالَةٍ وَلاَ مآدَّةٍ وَلاَ زَمَانٍ وَلاَ مَكَانٍ، وَلَيْسَ
ذلِكَ إِلاَّ للهِ. وَالْبَدِيْعُ يُقَالُ لِلْمُبْدِعِ نَحْوُ قَوْلِهِ:
(بَدِيْعُ السّمَاوَاتِ وَالأرْض) البقرة:117، وَيُقَالُ لِلْمُبْدَعِ
–بِفَتْحِ الدَّالِ- نَحْوُ رَكْوَةٍ بَدِيْعٍ. وَكَذلِكَ الْبِدْعُ
يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا، بِمَعْنَى الْفَاعِلِ وَالْمَفْعُوْلِ.
وَقَوْلُهُ تَعَالَى: (قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُل) الأحقاف: 9،
قِيْلَ مَعْنَاهُ: مُبْدَعًا لَمْ يَتَقَدَّمْنِيْ رَسُوْلٌ، وَقِيْلَ:
مُبْدِعًا فِيْمَا أَقُوْلُهُ.اهـ
“Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti dan
mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak Allah,
maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat, tanpa
bahan, tanpa masa dan tanpa tempat. Kata Ibda’ dalam makna ini hanya
berlaku bagi Allah saja. Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’
(artinya yang merintis sesuatu yang baru). Seperti dalam firman (Badi’
as-Samawat Wa al-Ardl), artinya: “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata
al-Badi’ juga digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang
dirintis). Seperti kata Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik
(dengan model baru)”. Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk
pengertian al-Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il
(pelaku) dan berlaku untuk makna Maf’ul (obyek). Firman Allah dalam QS.
al-Ahqaf: 9 (Qul Ma Kuntu Bid’an Min ar-Rusul), menurut satu pendapat
maknanya adalah: “Katakan Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang
belum pernah didahului oleh rasul sebelumku” (artinya penggunaan dalam
makna Maf’ul)”, menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah:
“Katakan wahai Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali
menyampaikan apa yang aku katakan” (artinya penggunaan dalam makna
Fa’il)” (Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, h. 36).
Dalam pengertian syari’at, bid’ah adalah:
اَلْمُحْدَثُ الَّذِيْ لَمْ يَنُصَّ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ وَلاَ جَاءَ فِيْ السُّـنَّةِ.
“Sesuatu yang baru yang tidak terdapat penyebutannya secara
tertulis, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam hadits”. (Sharih
al-Bayan, j. 1, h. 278)
Seorang ulama bahasa terkemuka, Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
لَيْسَتْ البِدْعَةُ وَالْمُحْدَثُ مَذْمُوْمَيْنِ لِلَفْظِ بِدْعَةٍ
وَمُحْدَثٍ وَلاَ مَعْنَيَيْهِمَا، وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ البِدْعَةِ مَا
يُخَالِفُ السُّـنَّةَ، وَيُذَمُّ مِنَ الْمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى
الضَّلاَلَةِ.
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela hanya
karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam pengertian
keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara baru yang
menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara baru yang
mengajak kepada kesesatan”.
Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: Bid’ah Dlalalah. Disebut pula dengan Bid’ah Sayyi-ah atau
Sunnah Sayyi-ah. Yaitu perkara baru yang menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua: Bid’ah Huda atau disebut juga dengan Bid’ah Hasanah atau
Sunnah Hasanah. Yaitu perkara baru yang sesuai dan sejalan dengan
al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Imam asy-Syafi’i berkata :
الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا
أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ
إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا
أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ
مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب
الشافعيّ)
“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama:
Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi
Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara
mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah
yang sesat. Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi
al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini
tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih
dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).
Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:
اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ
مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا
خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.
“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.
Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang
menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari)
Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh
para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab,
para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu. Di antara
mereka adalah para ulama terkemuka, seperti al-‘Izz ibn Abd as-Salam,
an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan
lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi
al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi,
al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa
sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.
Dengan demikian bid’ah dalam istilah syara’ terbagi menjadi dua:
Bid’ah Mahmudah (bid’ah terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (bid’ah tercela).
Pembagian bid’ah menjadi dua bagian ini dapat dipahami dari hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari’at ini
yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Dapat dipahami dari sabda Rasulullah: “Ma Laisa Minhu”, artinya
“Yang tidak sesuai dengannya”, bahwa perkara baru yang tertolak adalah
yang bertentangan dan menyalahi syari’at. Adapun perkara baru yang tidak
bertentangan dan tidak menyalahi syari’at maka ia tidak tertolak.
Bid’ah dilihat dari segi wilayahnya terbagi menjadi dua bagian;
Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan bid’ah dalam
cabang-cabang agama, yaitu bid’ah dalam Furu’, atau dapat kita sebut
Bid’ah ‘Amaliyyah. Bid’ah dalam pokok-pokok agama (Ushuluddin) adalah
perkara-perkara baru dalam masalah akidah yang menyalahi akidah
Rasulullah dan para sahabatnya.
Dalil-Dalil Bid’ah Hasanah
Al-Muhaddits al-‘Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn ash-Shiddiq
al-Ghumari al-Hasani dalam kitab Itqan ash-Shun’ah Fi Tahqiq Ma’na
al-Bid’ah, menuliskan bahwa di antara dalil-dalil yang menunjukkan
adanya bid’ah hasanah adalah sebagai berikut (Lihat Itqan ash-Shun’ah,
h. 17-28):
1. Firman Allah dalam QS. al-Hadid: 27:
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا
ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ (الحديد: 27)
“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya
(Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan
rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi
(mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan
Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)
Ayat ini adalah dalil tentang adanya bid’ah hasanah. Dalam ayat ini
Allah memuji ummat Nabi Isa terdahulu, mereka adalah orang-orang muslim
dan orang-orang mukmin berkeyakinan akan kerasulan Nabi Isa dan bahwa
berkeyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Allah memuji mereka
karena mereka kaum yang santun dan penuh kasih sayang, juga karena
mereka merintis rahbaniyyah. Praktek Rahbaniyyah adalah perbuatan
menjauhi syahwat duniawi, hingga mereka meninggalkan nikah, karena ingin
berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.
Dalam ayat di atas Allah mengatakan “Ma Katabnaha ‘Alaihim”,
artinya: “Kami (Allah) tidak mewajibkan Rahbaniyyah tersebut atas
mereka, melainkan mereka sendiri yang membuat dan merintis Rahbaniyyah
itu untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah”. dalam ayat ini Allah
memuji mereka, karena mereka merintis perkara baru yang tidak ada
nash-nya dalam Injil, juga tidak diwajibkan bahkan tidak sama sekali
tidak pernah dinyatakan oleh Nabi ‘Isa al-Masih kepada mereka. Melainkan
mereka yang ingin berupaya semaksimal mungkin untuk taat kepada Allah,
dan berkonsentrasi penuh untuk beribadah kepada-Nya dengan tidak
menyibukkan diri dengan menikah, menafkahi isteri dan keluarga. Mereka
membangun rumah-rumah kecil dan sederhana dari tanah atau semacamnya di
tempat-tempat sepi dan jauh dari orang untuk beribadah sepenuhnya kepada
Allah.
2. Hadits sahabat Jarir ibn Abdillah al-Bajali, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah
(perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut,
dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa
berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis
dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya
tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR.
Muslim)
Dalam hadits ini dengan sangat jelas Rasulullah mengatakan:
“Barangsiapa merintis sunnah hasanah…”. Pernyataan Rasulullah ini harus
dibedakan dengan pengertian anjuran beliau untuk berpegangteguh dengan
sunnah (at-Tamassuk Bis-Sunnah) atau pengertian menghidupkan sunnah yang
ditinggalkan orang (Ihya’ as-Sunnah). Karena tentang perintah untuk
berpegangteguh dengan sunnah atau menghidupkan sunnah ada hadits-hadits
tersendiri yang menjelaskan tentang itu. Sedangkan hadits riwayat Imam
Muslim ini berbicara tentang merintis sesuatu yang baru yang baik yang
belum pernah dilakukan sebelumnya. Karena secara bahasa makna “sanna”
tidak lain adalah merintis perkara baru, bukan menghidupkan perkara yang
sudah ada atau berpegang teguh dengannya.
3. Hadits ‘Aisyah, bahwa ia berkata: Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاريّ ومسلم)
“Barang siapa yang berbuat sesuatu yang baharu dalam syari'at ini
yang tidak sesuai dengannya, maka ia tertolak”. (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan tentang adanya bid’ah
hasanah. Karena seandainya semua bid’ah pasti sesat tanpa terkecuali,
niscaya Rasulullah akan mengatakan “Barangsiapa merintis hal baru dalam
agama kita ini apapun itu, maka pasti tertolak”. Namun Rasulullah
mengatakan, sebagaimana hadits di atas: “Barangsiapa merintis hal baru
dalam agama kita ini yang tidak sesuai dengannya, artinya yang
bertentangan dengannya, maka perkara tersebut pasti tertolak”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkara yang baru itu ada dua
bagian: Pertama, yang tidak termasuk dalam ajaran agama, karena
menyalahi kaedah-kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini
digolongkan sebagai bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang sesuai
dengan kaedah dan dalil-dalil syara’, perkara baru semacam ini
digolongkan sebagai perkara baru yang dibenarkan dan diterima, ialah
yang disebut dengan bid’ah hasanah.
4. Dalam sebuah hadits shahih riwayat al-Imam al-Bukhari dalam kitab
Shahih-nya disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab secara tegas
mengatakan tentang adanya bid’ah hasanah. Ialah bahwa beliau menamakan
shalat berjama’ah dalam shalat tarawih di bulan Ramadlan sebagai bid’ah
hasanah. Beliau memuji praktek shalat tarawih berjama’ah ini, dan
mengatakan: “Ni’mal Bid’atu Hadzihi”. Artinya, sebaik-baiknya bid’ah
adalah shalat tarawih dengan berjama’ah.
Kemudian dalam hadits Shahih lainnya yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim disebutkan bahwa sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab ini menambah
kalimat-kalimat dalam bacaan talbiyah terhadap apa yang telah diajarkan
oleh Rasulullah. Bacaan talbiyah beliau adalah:
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
5. Dalam hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn
‘Umar ibn al-Khaththab menambahkan kalimat Tasyahhud terhadap
kalimat-kalimat Tasyahhud yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Dalam
Tasayahhud-nya ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ.
Tentang kaliamat tambahan dalam Tasyahhud-nya ini, ‘Abdullah ibn
‘Umar berkata: “Wa Ana Zidtuha...”, artinya: “Saya sendiri yang
menambahkan kalimat “Wahdahu La Syarika Lah”.
6. ‘Abdullah ibn ‘Umar menganggap bahwa shalat Dluha sebagai bid’ah,
karena Rasulullah tidak pernah melakukannya. Tentang shalat Dluha ini
beliau berkata:
إِنَّهَا مُحْدَثَةٌ وَإِنَّهَا لَمِنْ أَحْسَنِ مَا أَحْدَثُوْا (رواه سعيد بن منصور بإسناد صحيح)
“Sesungguhnya shalat Dluha itu perkara baru, dan hal itu merupakan
salah satu perkara terbaik dari apa yang mereka rintis”. (HR. Sa’id ibn
Manshur dengan sanad yang Shahih)
Dalam riwayat lain, tentang shalat Dluha ini sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar mengatakan:
بِدْعَةٌ وَنِعْمَتْ البِدْعَةُ (رواه ابن أبي شيبة)
“Shalat Dluha adalah bid’ah, dan ia adalah sebaik-baiknya bid’ah”. (HR. Ibn Abi Syaibah)
Riwayat-riwayat ini dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari dengan sanad yang shahih.
7. Dalam sebuah hadits shahih, al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dari
sahabat Rifa'ah ibn Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata: “Suatu
hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah. Ketika beliau
mengangkat kepala setelah ruku’, beliau membaca: “Sami’allahu Lima
Hamidah”. Tiba-tiba salah seorang makmum berkata:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat, Rasulullah bertanya: “Siapakah tadi yang
mengatakan kalimat-kalimat itu?”. Orang yang yang dimaksud menjawab:
“Saya Wahai Rasulullah...”. Lalu Rasulullah berkata:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلَ
“Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya”.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan: “Hadits ini
adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir di
dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi
yang ma’tsur” (Fath al-Bari, j. 2, h. 287).
7. al-Imam an-Nawawi, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin, tentang doa Qunut, beliau menuliskan sebagai berikut:
هذَا هُوَ الْمَرْوِيُّ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ
وَزَادَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ: "وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ" قَبْلَ
"تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ" وَبَعْدَهُ: "فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا
قَضَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ". قُلْتُ: قَالَ
أَصْحَابُنَا: لاَ بَأْسَ بِهذِهِ الزِّيَادَةِ. وَقَالَ أَبُوْ حَامِدٍ
وَالْبَنْدَنِيْجِيُّ وَءَاخَرُوْنَ: مُسْتَحَبَّةٌ.
“Inilah lafazh Qunut yang diriwayatkan dari Rasulullah. Lalu para
ulama menambahkan kalimat: “Wa La Ya’izzu Man ‘Adaita” sebelum
“Tabarakta Wa Ta’alaita”. Mereka juga menambahkan setelahnya, kalimat
“Fa Laka al-Hamdu ‘Ala Ma Qadlaita, Astaghfiruka Wa Atubu Ilaika”. Saya
(an-Nawawi) katakan: Ashab asy-Syafi’i mengatakan: “Tidak masalah
(boleh) dengan adanya tambahan ini”. Bahkan Abu Hamid, dan
al-Bandanijiyy serta beberapa Ashhab yang lain mengatakan bahwa bacaan
tersebut adalah sunnah” (Raudlah ath-Thalibin, j. 1, h. 253-254).
Beberapa Contoh Bid’ah Hasanah Dan Bid’ah Sayyi-ah
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Hasanah. Di antaranya:
1. Shalat Sunnah dua raka’at sebelum dibunuh. Orang yang pertama
kali melakukannya adalah Khubaib ibn ‘Adiyy al-Anshari; salah seorang
sahabat Rasulullah. Tentang ini Abu Hurairah berkata:
فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)
“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan
dibunuh”. (HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam
kitab al-Mushannaf)
Lihatlah, bagaimana sahabat Abu Hurairah menggunakan kata “Sanna”
untuk menunjukkan makna “merintis”, membuat sesuatu yang baru yang
belaum ada sebelumnya. Jelas, makna “sanna” di sini bukan dalam
pengertian berpegang teguh dengan sunnah, juga bukan dalam pengertian
menghidupkan sunnah yang telah ditinggalkan orang.
Salah seorang dari kalangan tabi'in ternama, yaitu al-Imam Ibn
Sirin, pernah ditanya tentang shalat dua raka’at ketika seorang akan
dibunuh, beliau menjawab:
صَلاَّهُمَا خُبَيْبٌ وَحُجْرٌ وَهُمَا فَاضِلاَنِ.
“Dua raka’at shalat sunnah tersebut tersebut pernah dilakukan oleh
Khubaib dan Hujr bin Adiyy, dan kedua orang ini adalah orang-orang
(sahabat Nabi) yang mulia”. (Diriwayatkan oleh Ibn Abd al-Barr dalam
kitab al-Isti’ab) (al-Isti’ab Fi Ma’rifah al-Ash-hab, j. 1, h. 358)
2. Penambahan Adzan Pertama sebelum shalat Jum’at oleh sahabat
Utsman bin ‘Affan. (HR. al-Bukhari dalam Kitab Shahih al-Bukhari pada
bagian Kitab al-Jum'ah).
3. Pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an oleh Yahya
ibn Ya’mur. Beliau adalah salah seorang tabi'in yang mulia dan agung.
Beliau seorang yang alim dan bertaqwa. Perbuatan beliau ini disepakati
oleh para ulama dari kalangan ahli hadits dan lainnya. Mereka semua
menganggap baik pembuatan titik-titik dalam beberapa huruf al-Qur’an
tersebut. Padahal ketika Rasulullah mendiktekan bacaan-bacaan al-Qur’an
tersebut kepada para penulis wahyu, mereka semua menuliskannya dengan
tanpa titik-titik sedikitpun pada huruf-hurufnya.
Demikian pula di masa Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, beliau menyalin
dan menggandakan mush-haf menjadi lima atau enam naskah, pada setiap
salinan mush-haf-mush-haf tersebut tidak ada satu-pun yang dibuatkan
titik-titik pada sebagian huruf-hurufnya. Namun demikian, sejak setelah
pemberian titik-titik oleh Yahya bin Ya'mur tersebut kemudian semua umat
Islam hingga kini selalu memakai titik dalam penulisan huruf-huruf
al-Qur’an. Apakah mungkin hal ini dikatakan sebagai bid’ah sesat dengan
alasan Rasulullah tidak pernah melakukannya?! Jika demikian halnya maka
hendaklah mereka meninggalkan mush-haf-mush-haf tersebut dan
menghilangkan titik-titiknya seperti pada masa ‘Utsman.
Abu Bakar ibn Abu Dawud, putra dari Imam Abu Dawud penulis kitab
Sunan, dalam kitabnya al-Mashahif berkata: “Orang yang pertama kali
membuat titik-titik dalam Mush-haf adalah Yahya bin Ya’mur”. Yahya bin
Ya’mur adalah salah seorang ulama tabi'in yang meriwayatkan (hadits)
dari sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar dan lainnya.
Demikian pula penulisan nama-nama surat di permulaan setiap surat
al-Qur’an, pemberian lingkaran di akhir setiap ayat, penulisan juz di
setiap permulaan juz, juga penulisan hizb, Nishf (pertengahan Juz),
Rubu' (setiap seperempat juz) dalam setiap juz dan semacamnya, semua itu
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Apakah
dengan alasan semacam ini kemudian semua itu adalah bid’ah yang
diharamkan?!
4. Pembuatan Mihrab dalam majid sebagai tempat shalat Imam, orang
yang pertama kali membuat Mihrab semacam ini adalah al-Khalifah
ar-Rasyid ‘Umar ibn Abd al-'Aziz di Masjid Nabawi. Perbuatan al-Khalifah
ar-Rasyid ini kemudian diikuti oleh kebanyakan ummat Islam di seluruh
dunia ketika mereka membangun masjid. Siapa berani mengatakan bahwa itu
adalah bid’ah sesat, sementara hampir seluruh masjid di zaman sekarang
memiliki mihrab?! Siapa yang tidak mengenal Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz sebagai al-Khalifah ar-Rasyid?!
5. Peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah sebagaimana
ditegaskan oleh al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W
806 H), al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi
(W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami
(W 974 H), al-Imam Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam
(W 660 H), Mantan Mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354
H), mantan Mufti Bairut Lebanon Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan
masih banyak lagi para ulama terkemuka lainnya.
6. Membaca shalawat atas Rasulullah setelah adzan adalah bid’ah
hasanah sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitab
Musamarah al-Awa-il, al-Hafizh as-Sakhawi dalam kitab al-Qaul al-Badi’,
al-Haththab al-Maliki dalam kitab Mawahib al-Jalil, dan para ulama besar
lainnya.
7. Menulis kalimat “Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam” setelah menulis
nama Rasulullah termasuk bid’ah hasanah. Karena Rasulullah dalam
surat-surat yang beliau kirimkan kepada para raja dan para penguasa di
masa beliau hidup tidak pernah menulis kalimat shalawat semacam itu.
Dalam surat-suratnya, Rasulullah hanya menuliskan: “Min Muhammad
Rasulillah Ila Fulan…”, artinya: “Dari Muhammad Rasulullah kepada Si
Fulan…”.
8. Beberapa Tarekat yang dirintis oleh para wali Allah dan
orang-orang saleh. Seperti tarekat ar-Rifa'iyyah, al-Qadiriyyah,
an-Naqsyabandiyyah dan lainnya yang kesemuanya berjumlah sekitar 40
tarekat. Pada asalnya, tarekat-tarekat ini adalah bid’ah hasanah, namun
kemudian sebagian pengikut beberapa tarekat ada yang menyimpang dari
ajaran dasarnya. Namun demikian hal ini tidak lantas menodai tarekat
pada peletakan atau tujuan awalnya.
Berikut ini beberapa contoh Bid’ah Sayyi-ah. di antaranya sebagai berikut:
1. Bid’ah-bid’ah dalam masalah pokok-pokok agama (Ushuluddin), di antaranya seperti:
A. Bid’ah Pengingkaran terhadap ketentuan (Qadar) Allah. Yaitu
keyakinan sesat yang mengatakan bahwa Allah tidak mentaqdirkan dan tidak
menciptakan suatu apapun dari segala perbuatan ikhtiar hamba. Seluruh
perbuatan manusia, -menurut keyakinan ini-, terjadi dengan penciptaan
manusia itu sendiri. Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah tidak
menciptakan keburukan. Menurut mereka, Allah hanya menciptakan kebaikan
saja, sedangkan keburukan yang menciptakannya adalah hamba sendiri.
Mereka juga berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin,
dan juga bukan seorang kafir, melainkan berada pada posisi di antara dua
posisi tersebut, tidak mukmin dan tidak kafir. Mereka juga mengingkari
syafa'at Nabi. Golongan yang berkeyakinan seperti ini dinamakan dengan
kaum Qadariyyah. Orang yang pertama kali mengingkari Qadar Allah adalah
Ma'bad al-Juhani di Bashrah, sebagaimana hal ini telah diriwayatkan
dalam Shahih Muslim dari Yahya ibn Ya'mur.
B. Bid’ah Jahmiyyah. Kaum Jahmiyyah juga dikenal dengan sebutan
Jabriyyah, mereka adalah pengikut Jahm ibn Shafwan. Mereka berkeyakinan
bahwa seorang hamba itu majbur (dipaksa); artinya setiap hamba tidak
memiliki kehendak sama sekali ketika melakukan segala perbuatannya.
Menurut mereka, manusia bagaikan sehelai bulu atau kapas yang terbang di
udara sesuai arah angin, ke arah kanan dan ke arah kiri, ke arah
manapun, ia sama sekali tidak memiliki ikhtiar dan kehendak.
C. Bid’ah kaum Khawarij. Mereka mengkafirkan orang-orang mukmin yang melakukan dosa besar.
D. Bid’ah sesat yang mengharamkan dan mengkafirkan orang yang
bertawassul dengan para nabi atau dengan orang-orang saleh setelah para
nabi atau orang-orang saleh tersebut meninggal. Atau pengkafiran
terhadap orang yang tawassul dengan para nabi atau orang-orang saleh di
masa hidup mereka namun orang yang bertawassul ini tidak berada di
hadapan mereka. Orang yang pertama kali memunculkan bid’ah sesat ini
adalah Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Harrani (W 728 H), yang
kemudian diambil oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya
yang dikenal dengan kelompok Wahhabiyyah.
2. Bid’ah-bid’ah 'Amaliyyah yang buruk. Contohnya menulis huruf (ص)
atau (صلعم) sebagai singkatan dari “Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam”
setelah menuliskan nama Rasulullah. Termasuk dalam bahasa Indonesia
menjadi “SAW”. Para ahli hadits telah menegaskan dalam kitab-kitab
Mushthalah al-Hadits bahwa menuliskan huruf “shad” saja setelah
penulisan nama Rasulullah adalah makruh. Artinya meskipun ini bid’ah
sayyi-ah, namun demikian mereka tidak sampai mengharamkannya. Kemudian
termasuk juga bid’ah sayyi-ah adalah merubah-rubah nama Allah dengan
membuang alif madd (bacaan panjang) dari kata Allah atau membuang Ha'
dari kata Allah.
Kerancuan Pendapat Yang Mengingkari Bid’ah Hasanah
1. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah biasa berkata:
“Bukankah Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Dawud dari sahabat
al-‘Irbadl ibn Sariyah telah bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود)
Ini artinya bahwa setiap perkara yang secara nyata tidak disebutkan
dalam al-Qur’an dan hadits atau tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
dan atau al-Khulafa' ar-Rasyidun maka perkara tersebut dianggap sebagai
bid’ah sesat .
Jawab:
Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Artinya yang
dimaksud oleh Rasulullah dengan bid’ah tersebut adalah bid’ah sayyi-ah,
yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, sunnah, ijma' atau
atsar. Al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menuliskan: “Sabda
Rasulullah “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah 'Amm Makhshush; artinya,
lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya. Jadi yang
dimaksud adalah bahwa sebagian besar bid’ah itu sesat (bukan mutlak
semua bid’ah itu sesat)” (al-Minhaj Bi Syarah Shahih Muslim ibn
al-Hajjaj, j. 6, hlm. 154).
Kemudian al-Imam an-Nawawi membagi bid’ah menjadi lima macam. Beliau
berkata: “Jika telah dipahami apa yang telah aku tuturkan, maka dapat
diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah dikhususkan.
Demikian juga pemahamannya dengan beberapa hadits serupa dengan ini. Apa
yang saya katakan ini didukung oleh perkataan ‘Umar ibn al-Khaththab
tentang shalat Tarawih, beliau berkata: “Ia (Shalat Tarawih dengan
berjama’ah) adalah sebaik-baiknya bid’ah”.
Dalam penegasan al-Imam an-Nawawi, meski hadits riwayat Abu Dawud
tersebut di atas memakai kata “Kullu” sebagai ta’kid, namun bukan
berarti sudah tidak mungkin lagi di-takhshish. Melainkan ia tetap dapat
di-takhshish. Contoh semacam ini, dalam QS. al-Ahqaf: 25, Allah
berfirman:
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ (الأحقاف: 25)
Makna ayat ini ialah bahwa angin yang merupakan adzab atas kaum 'Ad
telah menghancurkan kaum tersebut dan segala harta benda yang mereka
miliki. Bukan artinya bahwa angin tersebut menghancurkan segala sesuatu
secara keseluruhan, karena terbukti hingga sekarang langit dan bumi
masih utuh. Padahal dalam ayat ini menggunakan kata “Kull”.
Adapun dalil-dalil yang men-takhshish hadits “Wa Kullu Bid’ah
Dlalalah” riwayat Abu Dawud ini adalah hadits-hadits dan atsar-atsar
yang telah disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid’ah hasanah.
==============================
2. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah biasanya berkata:
“Hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…” yang telah
diriwayatkan oleh Imam Muslim adalah khusus berlaku ketika Rasulullah
masih hidup. Adapun setelah Rasulullah meninggal maka hal tersebut
menjadi tidak berlaku lagi”.
Jawab:
Di dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
لاَ تَثْبُتُ الْخُصُوْصِيَّةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Pengkhususan -terhadap suatu nash- itu tidak boleh ditetapkan kecuali harus berdasarkan adanya dalil”.
Kita katakan kepada mereka: “Mana dalil yang menunjukan kekhususan
tersebut?! Justru sebaliknya, lafazh hadits riwayat Imam Muslim di atas
menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak mengatakan “Man Sanna Fi
Hayati Sunnatan Hasanatan…” (Barangsiapa merintis perkara baru yang baik
di masa hidupku…), atau juga tidak mengatakan: “Man ‘Amila ‘Amalan Ana
‘Amiltuh Fa Ahyahu…” (Barangsiapa mengamalkan amal yang telah aku
lakukan, lalu ia menghidupkannya…). Sebaliknya Rasulullah mengatakan
secara umum: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”, dan tentunya
kita tahu bahwa Islam itu tidak hanya yang ada pada masa Rasulullah
saja”.
Kita katakan pula kepada mereka: Berani sekali kalian mengatakan
hadits ini tidak berlaku lagi setelah Rasulullah meninggal?! Berani
sekali kalian menghapus salah satu hadits Rasulullah?! Apakah setiap ada
hadits yang bertentangan dengan faham kalian maka berarti hadits
tersebut harus di-takhshish, atau harus d-nasakh (dihapus) dan tidak
berlaku lagi?! Ini adalah bukti bahwa kalian memahami ajaran agama hanya
dengan didasarkan kepada “hawa nafsu” belaka.
==============================
3. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah terkadang berkata:
“Hadits riwayat Imam Muslim: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan…”
sebab munculnya adalah bahwa beberapa orang yang sangat fakir memakai
pakaian dari kulit hewan yang dilubangi tengahnya lalu dipakaikan dengan
cara memasukkan kepala melalui lubang tersebut. Melihat keadaan
tersebut wajah Rasulullah berubah dan bersedih. Lalu para sahabat
bersedekah dengan harta masing-masing dan mengumpulkannya hingga menjadi
cukup banyak, kemudian harta-harta itu diberikan kepada orang-orang
fakir tersebut. Ketika Rasulullah melihat kejadian ini, beliau sangat
senang dan lalu mengucapkan hadits di atas. Artinya, Rasulullah memuji
sedekah para sahabatnya tersebut, dan urusan sedekah ini sudah maklum
keutamaannya dalam agama”.
Jawab:
Dalam kaedah Ushuliyyah disebutkan:
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang dijdikan sandaran itu -dalam penetapan dalil itu- adalah keumuman lafazh suatu nash, bukan dari kekhususan sebabnya”.
Dengan demikian meskipun hadits tersebut sebabnya khusus, namun
lafazhnya berlaku umum. Artinya yang harus dilihat di sini adalah
keumuman kandungan makna hadits tersebut, bukan kekhususan sebabnya.
Karena seandainya Rasulullah bermaksud khusus dengan haditsnya tersebut,
maka beliau tidak akan menyampaikannya dengan lafazh yang umum.
Pendapat orang-orang anti bid’ah hasanah yang mengambil alasan semacam
ini terlihat sangat dibuat-buat dan sungguh sangat aneh. Apakah mereka
lebih mengetahui agama ini dari pada Rasulullah sendiri?!
===============================
4. Sebagian kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan:
“Bukan hadits “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah” yang di-takhshish oleh hadits
“Man Sanna Fi al-Isalam Sunnatan Hasanah…”. Tetapi sebaliknya, hadits
yang kedua ini yang di-takhshish oleh hadits hadits yang pertama”.
Jawab:
Ini adalah penafsiran “ngawur” dan “seenak perut” belaka. Pendapat
semacam itu jelas tidak sesuai dengan cara para ulama dalam memahami
hadits-hadits Rasulullah. Orang semacam ini sama sekali tidak faham
kalimat “’Am” dan kalimat “Khas”. Al-Imam an-Nawawi ketika menjelaskan
hadits “Man Sanna Fi al-Islam…”, menuliskan sebagai berikut:
فِيْهِ الْحَثُّ عَلَى الابْتِدَاءِ بِالْخَيْرَاتِ وَسَنِّ السُّنَنِ
الْحَسَنَاتِ وَالتَّحْذِيْرِ مِنَ الأَبَاطِيْلِ وَالْمُسْتَقْبَحَاتِ.
وَفِيْ هذَا الْحَدِيْثِ تَخْصِيْصُ قَوْلِهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ
"فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" وَأَنَّ
الْمُرَادَ بِهِ الْمُحْدَثَاتُ الْبَاطِلَةُ وَالْبِدَعُ الْمَذْمُوْمَةُ.
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, dan
merintis perkara-perkara baru yang baik, serta memperingatkan masyarakat
dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga
terdapat pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain, yaitu terhadap
hadits: “Wa Kullu Bid’ah Dlalalah”. Dan bahwa sesungguhnya bid’ah yang
sesat itu adalah perkara-perkara baru yang batil dan perkara-perkara
baru yang dicela”.
As-Sindi mengatakan dalam kitab Hasyiyah Ibn Majah:
قَوْلُهُ "سُنَّةً حَسَنَةً" أَيْ طَرِيْقَةً مَرْضِيَّةً يُقْتَدَى
بِهَا، وَالتَّمْيِيْزُ بَيْنَ الْحَسَنَةِ وَالسَّـيِّئَةِ بِمُوَافَقَةِ
أُصُوْلِ الشَّرْعِ وَعَدَمِهَا.
“Sabda Rasulullah: “Sunnatan Hasanatan…” maksudnya adalah jalan yang
diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara bid’ah hasanah dan
sayyi-ah adalah dengan melihat apakah sesuai dengan dalil-dalil syara’
atau tidak”.
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ
مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq
para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong
kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan
jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid’ah yang
buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).
Dengan demikian para ulama sendiri yang telah mengatakan mana hadits
yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika sebuah hadits bermakna
khusus, maka mereka memahami betul hadits-hadits mana yang
mengkhususkannya. Benar, para ulama juga yang mengetahui mana hadits
yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan. Bukan semacam mereka yang
membuat pemahaman sendiri yang sama sekali tidak di dasarkan kepada
ilmu.
Dari penjelasan ini juga dapat diketahui bahwa penilaian terhadap
sebuah perkara yang baru, apakah ia termasuk bid’ah hasanah atau
termasuk sayyi-ah, adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki
keahlian untuk menilai sebuah perkara, apakah masuk kategori bid’ah
hasanah atau sayyi-ah. Bukan orang-orang awam atau orang yang menganggap
dirinya alim padahal kenyataannya ia tidak paham sama sekali.
===============================
5. Kalangan yang mengingkari bid’ah hasanah mengatakan: “Bid’ah yang
diperbolehkan adalah bid’ah dalam urusan dunia. Dan definisi bid’ah
dalam urusan dunia ini sebenarnya bid’ah dalam tinjauan bahasa saja.
Sedangkan dalam urusan ibadah, bid’ah dalam bentuk apapun adalah sesuatu
yang haram, sesat bahkan mendekati syirik”.
Jawab:
Subhanallah al-'Azhim. Apakah berjama'ah di belakang satu imam dalam
shalat Tarawih, membaca kalimat talbiyah dengan menambahkan atas apa
yang telah diajarkan Rasulullah seperti yang dilakukan oleh sahabat
‘Umar ibn al-Khaththab, membaca tahmid ketika i'tidal dengan kalimat
“Rabbana Wa Laka al-Hamd Handan Katsiran Thayyiban Mubarakan Fih”,
membaca doa Qunut, melakukan shalat Dluha yang dianggap oleh sahabat
‘Abdullah ibn ‘Umar sebagai bid’ah hasanah, apakah ini semua bukan dalam
masalah ibadah?! Apakah ketika seseorang menuliskan shalawat:
“Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” atas Rasulullah tidak sedang beribadah?!
Apakah orang yang membaca al-Qur’an yang ada titik dan harakat
i'rab-nya tidak sedang beribadah kepada Allah?! Apakah orang yang
membaca al-Qur’an tersebut hanya “bercanda” dan “iseng” saja, bahwa ia
tidak akan memperoleh pahala karena membaca al-Qur’an yang ada titik dan
harakat i'rab-nya?! Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar yang nyata-nyata dalam
shalat, di dalam tasyahhud-nya menambahkan “Wahdahu La Syarika Lahu”,
apakah ia tidak sedang melakukan ibadah?! Hasbunallah.
Kemudian dari mana ada pemilahan bid’ah secara bahasa (Bid’ah
Lughawiyyah) dan bid’ah secara syara'?! Bukankah ketika sebuah lafazh
diucapkan oleh para ulama, yang notebene sebagai pembawa ajaran
syari’at, maka harus dipahami dengan makna syar'i dan dianggap sebagai
haqiqah syar'iyyah?! Bukankah ‘Umar ibn al-Khatththab dan ‘Abdullah ibn
Umar mengetahui makna bid’ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka
memuji sebagian bid’ah dan mengatakannya sebagai bid’ah hasanah,
bukankah itu berarti bahwa kedua orang sahabat Rasulullah yang mulia dan
alim ini memahami adanya bid’ah hasanah dalam agama?! Siapa berani
mengatakan bahwa kedua sahabat agung ini tidak pernah mendengar hadits
Nabi “Kullu Bid’ah Dlalalah”?! Ataukah siapa yang berani mengatakan
bahwa dua sahabat agung tidak memahami makna “Kullu” dalam hadits “Kullu
Bid’ah Dlalalh” ini?!
Kita katakan kepada mereka yang anti terhadap bid’ah hasanah:
“Sesungguhnya sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan sahabat ‘Abdullah ibn
‘Umar, juga para ulama, telah benar-benar mengetahui adanya kata “Kull”
di dalam hadits tersebut. Hanya saja orang-orang yang mulia ini memahami
hadits tersebut tidak seperti pemahaman orang-orang Wahhabiyyah yang
sempit pemahamannya ini. Para ulama kita tahu bahwa ada beberapa hadits
shahih yang jika tidak dikompromikan maka satu dengan lainnya akan
saling bertentangan. Oleh karenanya, mereka mengkompromikan hadits “Wa
Kullu Bid’ah Dlalalah” dengan hadits “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan
Hasanatan…”, bahwa hadits yang pertama ini di-takhshish dengan hadits
yang kedua. Sehingga maknanya menjadi: “Setiap bid’ah Sayyi-ah adalah
sesat”, bukan “Setiap bid’ah itu sesat”.
Pemahaman ini sesuai dengan hadits lainnya, yaitu sabda Rasulullah:
مَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ
كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ (رواه الترمذيّ وابن ماجه)
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak
diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia terkena dosa orang-orang yang
mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR.
at-Tirmidzi dan Ibn Majah)
Inilah pemahaman yang telah dijelaskan oleh para ulama kita sebagai Waratsah al-Anbiya’.
===============================
6. Kalangan yang mengingkari adanya bid’ah hasanah mengatakan:
“Perkara-perkara baru tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah,
dan para sahabat tidak pernah melakukannya pula. Seandainya
perkara-perkara baru tersebut sebagai sesuatu yang baik niscaya mereka
telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika
mereka berkata: Rasulullah melarang secara umum dengan sabdanya: “Kullu
Bid’ah Dlalalah”. Kita jawab: Rasulullah juga telah bersabda: “Man
Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan Fa Lahu Ajruha Wa Ajru Man ‘Amila
Biha…”.
Bila mereka berkata: Adakah kaedah syara' yang mengatakan bahwa apa
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid’ah yang diharamkan? Kita
jawab: Sama sekail tidak ada.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah suatu perkara itu hanya baru
dianggap mubah (boleh) atau sunnah setelah Rasulullah sendiri yang
langsung melakukannya?! Apakah kalian mengira bahwa Rasulullah telah
melakukan semua perkara mubah?! Jika demikian halnya, kenapa kalian
memakai Mushaf (al-Qur’an) yang ada titik dan harakat i'rab-nya?!
Padahal jelas hal itu tidak pernah dibuat oleh Rasulullah, atau para
sahabatnya! Apakah kalian tidak tahu kaedah Ushuliyyah mengatakan:
التَّرْكُ لاَ يَقْتَضِي التَّحْرِيْم
“Meninggalkan suatu perkara tidak tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram”.
Artinya, ketika Rasulullah atau para sahabatnya tidak melakukan
suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu
yang haram.
Sudah maklum, bahwa Rasulullah berasal dari bangsa manusia, tidak
mungkin beliau harus melakukan semua hal yang Mubah. Jangankan
melakukannya semua perkara mubah, menghitung semua hal-hal yang mubah
saja tidak bisa dilakukan oleh seorangpun. Hal ini karena Rasulullah
disibukan dalam menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berdakwah,
mendebat orang-orang musyrik dan ahli kitab, memerangi orang-orang
kafir, melakukan perjanjian damai dan kesepakatan gencatan senjata,
menerapkan hudud, mempersiapkan dan mengirim pasukan-pasukan perang,
mengirim para penarik zakat, menjelaskan hukum-hukum dan lainnya.
Bahkan dengan sengaja Rasulullah kadang meninggalkan beberapa
perkara sunnah karena takut dianggap wajib oleh ummatnya. Atau sengaja
beliau kadang meninggalkan beberapa perkara sunnah hanya karena khawatir
akan memberatkan ummatnya jika beliau terus melakukan perkara sunnah
tersebut. Dengan demikian orang yang mengharamkan satu perkara hanya
dengan alasan karena perkara tersebut tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah adalah pendapat orang yang tidak mengerti ahwal Rasulullah
dan tidak memahami kaedah-kaedah agama.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang ini kita dapat mengetahui dengan
jelas bahwa para sahabat Rasulullah, para tabi'in, para ulama Salaf dan
para ulama Khalaf, mereka semuanya memahami pembagian bid’ah kepada dua
bagian; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi-ah. Yang kita sebutkan dalam
tulisan ini bukan hanya pendapat dari satu atau dua orang ulama saja,
melainkan sekian banyak ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf di atas
keyakinan ini. Lembaran buku ini tidak akan cukup bila harus semua nama
mereka kita kutip di sini.
Dengan demikian bila ada orang yang menyesatkan pembagian bid’ah
kepada dua bagian ini, maka berarti ia telah menyesatkan seluruh ulama
dari masa para sahabat Nabi hingga sekarang ini. Dari sini kita
bertanya, apakah kemudian hanya dia sendiri yang benar, sementara semua
ulama tersebut adalah orang-orang sesat?! Tentu terbalik, dia sendiri
yang sesat, dan para ulama tersebut di atas kebenaran. Orang atau
kelompok yang “keras kepala” seperti ini hendaklah menyadari bahwa
mereka telah menyempal dari para ulama dan mayoritas ummat Islam. Adakah
mereka merasa lebih memahami al-Qur’an dan Sunnah dari pada para
Sahabat, para Tabi’in, para ulama Salaf, para ulama Hadits, Fikih dan
lainnya?! Hasbunallah.