Laman

صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى طـهَ رَسُـوْلِ اللهِ صَـلا َةُ اللهِ سَـلا َمُ اللهِ عَـلَى يـس حَبِيْـبِ اللهِ
Budi Pekerti Yang Paling Tinggi Adalah Rasa Malu Terhadap Diri Sendiri

Mereka yang kembali pada akal pikirannya sendiri..

Salah satu pokok permasalahan dalam dunia Islam adalah orang-orang yang kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah dengan akal pikiran masing-masing secara otodidak (shahafi) bersandarkan muthola'ah (menelaah kitab) dan umumnya dengan metodologi "terjemahkan saja" yakni memahami dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.

Kalaupun mereka berguru maka para gurunya pun mengambil ilmu dengan akal pikiran masing-masing secara otodidak (shahafi) bersandarkan muthola'ah (menelaah kitab) dan umumnya dengan metodologi "terjemahkan saja" yakni memahami dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits?

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Mereka mengatakan bahwa mereka mengikuti pemahaman Salaful Ummah atau Salafush Sholeh namun pada kenyataannya kita tidak bertemu dengan Salafush Sholeh sehingga mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.

Pada zaman sekarang ini yang tertinggal adalah lafaz atau nash Al Qur'an dan Hadits ataupun perkataan Salafush Sholeh dalam bahasa Arab yang memahaminya dibutuhkan kompetensi seperti ilmu tata bahasa (grammar) seperti ilmu alat , nahwu, sharaf, balaghah dan lain lain

Para ulama yang sholeh terdahulu kita pada umumnya selalu menekankan penguasaan ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) sebelum mendalami atau "kembali kepada" Al Qur'an dan As Sunnah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mencirikan mereka yang menyebabkan perselisihan karena perbedaan pemahaman yakni ulama bangsa Arab yang hanya berkemampuan berbahasa Arab saja atau “terjemahkan saja”, sebagaimana dalam sabdanya yang artinya

“Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab)“. Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?” Nabi menjawab; “Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka!” Aku bertanya; “kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana?” Nabi menjawab; “hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu” (HR Bukhari 6557, HR Muslim 3434)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.

Ulama banga Arab tersebut tentu mengerti bahasa Arab namun mereka tidak memperhatikan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

Man sanna fi Islami sunnatan hasanatan

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda adanya sunnah hasanah dan sunnah sayyiah

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ وَأَبِي الضُّحَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ هِلَالٍ الْعَبْسِيِّ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ جَاءَ نَاسٌ مِنْ الْأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ الصُّوفُ فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ قَالَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir bin ‘Abdul Hamid dari Al A’masy dari Musa bin ‘Abdullah bin Yazid dan Abu Adh Dhuha dari ‘Abdurrahman bin Hilal Al ‘Absi dari Jarir bin ‘Abdullah dia berkata; Pada suatu ketika, beberapa orang Arab badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan pakaian dari bulu domba (wol). Lalu Rasulullah memperhatikan kondisi mereka yang menyedihkan. Selain itu, mereka pun sangat membutuhkan pertolongan. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk memberikan sedekahnya kepada mereka. Tetapi sayangnya, para sahabat sangat lamban untuk melaksanakan anjuran Rasulullah itu, hingga kekecewaan terlihat pada wajah beliau. Jarir berkata; ‘Tak lama kemudian seorang sahabat dari kaum Anshar datang memberikan bantuan sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya. Setelah itu, datanglah beberapa orang sahabat yang turut serta menyumbangkan sedekahnya (untuk diserahkan kepada orang-orang Arab badui tersebut) hingga tampaklah keceriaan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)

Berikut pendapat mereka terhadap hadits tersebut

1. maksud perkataan Rasulullah "Man sanna fi Islami sunnatan hasanataan" tidak lain adalah mengamalkan apa yang sudah ada dasarnya dari Sunnah Nabi Shallallohu 'Alaihi Wasallam. Asbabul wurud hadits tersebut berkenaan dengan urusan shadaqah yang telah disyari'atkan

2. kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang ditinggalkan.

3. Ada pula mereka mensarikan dari buku "Al Ibdaa' fi kamaalisy wa khataril ibtidaa' edisi Indonesia "Kesempurnaan Islam dan bahaya bid'ah karya Ulama Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan) bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau: "Man sanna fil Islaami Sunatan hasanatan" , yaitu : 'Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik" , bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian itu dilarang bersabdakan sabda beliau shallallahu alaihi wasallam :"Kullu bid'atin dholalah"

Urusan shadaqah memang sudah disyariatkan namun dalam hadits tersebut disampaikan bahwa ada seorang Sahabat Nabi yang mencontohkan atau memulai untuk bersedekah sesuatu yang dibungkus dengan daun dan kemudian diikuti oleh beberapa orang sahabat lainnya

Kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah bukan berarti sunnah Rasulullah karena tidak ada sunnah Rasulullah yang sayyiah (jelek).

Kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah artinya contoh atau suri tauladan atau perkara kebiasaan yang tidak dilakukan oleh orang lain sebelumnya atau perkara baru (bid’ah) dalam kebiasaan (adat)

Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i “ maksudnya perbedaan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits

Sunnah Hasanah (baik) adalah contoh, suri tauladan, perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan (adat) yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits

Sunnah Sayyiah (buruk) adalah contoh, suri tauladan, perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan (adat) yang menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Oleh karena bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits maka termasuk perkara terkait dengan dosa sehingga termasuk bid'ah dholalah

Jadi bid'ah dholalah adalah bid'ah dalam urusan agama (urusan kami) dan sunnah sayyiah

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ.

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Berikut pendapat Imam Syafi’i ra

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Contoh bid’ah hasanah atau perkara baru (bid’ah) dalam perkara kebiasaan (adat) yang paling terkenal adalah peringatan Maulid Nabi.

Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.

Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”

Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.

Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.

Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok. Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)

Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan hari kelahiran itu sendiri seperti janganlah berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.

Sedangkan peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini

GERAKAN TERSELUBUNG..


Hati-hati dg gerakan yg terpola secara
sistematis usaha segolongan ummat utk
menjauhkan ummat islam dari para ulama'nya.

Dari sekian bnyak diskusi yg telah di gelar bila
kita cermati sering muncul petarnyaan begni:
"Kamu ngikuti Kiyai atau ngikuti Nabi???".

"APAKAH BENAR FIQIH MAMPU MENGGUGURKAN AL-
QUR'AN DAN HADIST..???"

"Bagaimanakah kedudukan kitab kuning atas Al-
qur'an dan Hadits Nabi saw???

"Ulama itu kan manusia biasa seperti kita yg bs
salah dan bisa benar serta tdk ma'sum ????"

Pertanyaan tsb di atas merupakan bagian di
antara beberapa pola yg sdg mereka bangun
demi utk mewujudkan adanya gerakan
menjauhkan ummat islam dari para ulama'nya.

Bila usaha ini berhasil, sungguh tak
terbayangkan oleh kita semua bgmn ummat di
kemudian hari nanti dlm mengamalkan
agamanya. Mereka akan berijtihad sendiri dg
kedangkalan ilmu serta kebodohannya masing-
masing....

Waspadalah...waspadalah....waspadalah....

Dari beberapa pertanyaan yg sdh sy contohkan
di atas, mengandung suatu pengertian yg
resembunyi, di antaranya:

"Kamu ngikuti Kiyai atau ngikuti Nabi???".
Pertanyaan ini telah menuduh atau
beranggapan klu para Kyai itu tdk mengikuti
Nabi.
----------------------------------------------------------
"APAKAH BENAR FIQIH MAMPU MENGGUGURKAN AL-
QUR'AN DAN HADIST..???"
Pertanyaan ini telah menuduh atau
beranggapan klu kitab2 fikih yg di karang oleh
para ulama tdk bersumber dari Al-Qur'an
maupun Al-Hadits
---------------------------------------------------------
"Bagaimanakah kedudukan kitab kuning atas Al-
qur'an dan Hadits Nabi saw???
Pertanyaan ini telah menuduh atau
beranggapan klu kitab2 kuning
karang oleh para ulama tdk mengambil
sumbernya dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits.
----------------------------------------------------------------
"Ulama itu kan manusia biasa seperti kita yg bs
salah dan bisa benar serta tdk ma'sum ????"
Pertanyaan ini telah menuduh atau
beranggapan klu para ulama itu org org bodoh
yg masih pantas dan layak org2 bodoh dan
dungu utk mengkritik serta mengkritisinya,
seakan2 sang pengkritik memposisikan dirinya
sbg pihak yg merasa lebih hebat, lebih alim,
lebih wira'i di bandingkan dg para ulama yg
dikritik itu sendiri.

Runtuhnya Ukhuwah Islamiyah Karena Tidak Menyadari Adanya Perang Pemahaman









  Para ulama yang memuji ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama yang belum mengetahui gerakan ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang adalah kaum Zionis Yahudi Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi Protokol Zionis yang ketujuhbelas …Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan….. Salah satu slogan hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi adalah “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salafush Sholeh” yang bertujuan agar kaum muslim tidak merujuk kepada Imam Mazhab yang empat dan melakukan ijtihad dengan akal pikirannya sendiri secara otodidak (belajar sendiri) sehingga menimbulkan perselisihan karena perbedaan pemahaman atau pendapat yang ditimbulkan karena bukan ahli istidlal atau tidak berkompetensi untuk melakukan ijtihad dan istinbat. Pada hakikatnya mereka bukanlah mengikuti pemahaman Salafush Sholeh karena mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh. Mereka adalah pengikut ajaran ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pola pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah sedangkan beliau tidak bertemu dengan ulama Ibnu Taimiyyah karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih. Ulama Ibnu Taimiyyah adalah ulama yang menyalahgunakan kata salaf maupun khalaf untuk membenarkan upaya beliau menisbatkan diri atau tepatnya mengaku-ngaku mengikuti Salafush Sholeh. Ulama Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan mazhab Salaf dan menisbatkan dirinya kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu darinya berdasarkan kesepakatan (para ulama) karena mazhab Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” (Majmuu’ Fataawa Ibnu Taimiyyah, IV/149) Tentulah ulama Ibnu Taimiyyah tidak bertemu dengan Salafush Sholeh sehingga mendapatkan atau mengetahui mazhab atau manhaj Salaf. Imam Mazhab yang empat yang masih bertemu dengan Salafush Sholeh tidak pernah menyampaikan adanya atau betapa pentingnya mazhab atau manhaj Salaf Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang daripada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan masa sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.” Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam As-Salafiyyah: Marhalah Zamaniyyah Mubarakah, La Mazhab Islami yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Gema Insani Press menjelaskan bahawasanya, “istilah salaf itu bukanlah suatu mazhab dalam Islam, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian mereka yang mengaku sebagai salafi, tetapi istilah salaf itu sendiri merujuk kepada suatu zaman awal umat Islam“.